Kentut Jurik

by - June 30, 2016


Hujan jatuh ke bumi, rintiknya begitu telatur, pertemuan hujan dan bumi seperti pertemuan dua insan yang dimabuk cinta. Aku bisa melihatnya dengan jelas, lihatlah! Kilau air hujan yang jatuh dan lumer menyatu di tanah. Sebegitu rindunya kah alam? Setelah kemarau panjang, akhirnya hujan datang. Tentu saja kerinduan itu tidak terkatakan.
            Bau tanah menyebar, menyelusup rongga hidung. Reflek tanganku bergerak hendak membuka kaca buram angkot yang berjalan tergucang-gunjang sejak dari terminal Aweh tadi, karena jalan yang dilewati tidak beraturan.
            “Din, kok dibuka, bisa basah dong. “ Maya yang duduk di bangku depanku, menepuk lututku. Matanya memberi isyarat kalau penumpang lainnya di dalam angkot ini pasti akan protes.
            “Aku mau mencium bau hujan dan tanah, “ bisikku, tapi tangan yang tadi kugerakkan untuk membuka kaca tertunda. Kupikir, benar juga. Pasti penumpang di kiri kanan dan depan akan protes berat jika kaca jendela angkot kubuka. Mereka, tidak hanya mereka tapi barang bawaan mereka pasti akan basah. Kekonyolan apa, mau mencium bau hujan dan tanah. Wajah-wajah polos dalam angkot ini pasti akan menatapku heran.
            “Hanyang Baduy, Neng?” Seorang wanita setengah baya, dipangkuannya ada sekantong plastik besar, sepertinya berisi sayuran, bertanya padaku. Sinar matanya ramah, senyumnya tulus, mengukir kerut yang semakin banyak di wajahnya.
            Aku hanya melongo, kemudian membalasnya dengan senyum lebar.
Muhun, Bu, kami rek Cibeo,” Maya langsung menyambar. Gadis itu memang bukan baru pertama kali ke Baduy, sementara aku baru kali ini, itu pun karena perjumpaanku dengan Zakri.
           
Zakri pria Baduy Dalam- Cibeo,  berperawakan kecil meski untuk ukuran pria Indonesia, namun sosoknya kekar. Ototnya terbentuk dengan baik, kata Maya itu efek dari kondisi alam Baduy. Di Baduy tidak ada transportasi, semua tempat dijelajahi dengan hanya berjalan kaki dan tanpa alas, terutama orang Baduy Dalam. Sehingga rata-rata pria Baduy meski mungil atau tidak terlalu tinggi, memiliki tubuh dengan otot yang cukup baik.
            Aku menarik napas dan menghembuskannya pelan-pelan, terlihat Maya mengobrol dengan wanita setengah baya tadi, entah apa yang mereka bicarakan. Aku menginginkan angkot ini bisa melesat lebih cepat lagi, aku tidak sabar untuk bertemu Zakri.
            Sebulan lalu saat aku ke kost’an Maya di Jagakarsa, saat itu masih musim kemarau. Zakri dan kawan-kawannya, dua pria tua, bertandang. Mereka mengenakan pakaian dengan atasan putih, bawahan kain pendek berwarna biru kehitaman dan ikat kepala putih. Sebenarnya tidak benar-benar putih, tapi putih yang mulai berbaur dengan abu-abu atau kekuningan oleh karena waktu dan debu. Aku tahu itu, sebab aku penyuka warna putih selain hijau tosca.
            “Mereka tidak pernah mencuci dengan sabun, mereka benar-benar orang-orang yang menjaga bumi dengan kejujuran, “ kata Maya saat aku mempertanyakan, mengapa aroma mereka begitu menyengat. “Selain itu...” Maya menatapku, serius.  
“Kau tahu, mereka menempuh perjalanan Baduy Dalam ke Jakarta dengan berjalan kaki tanpa alas. Itu semua bagian dari menjaga harmoni alam.”
            Spontan aku menggelengkan kepala, “Mungkin jika di Baduy Dalam, mereka memang harus berjalan kaki karena tidak ada transportasi. “
“Tapi ini di kota, May, di mana transportasi aneka rupa dan mereka membiarkan telapak kakinya terbakar selama berkilo-kilo?” Aku tidak bisa memahami.
            “Hukum adat teu meunang dirobah,” Zakri membuka suara buatku. Suaranya pelan, gesture tubuhnya malu-malu tapi kedua bola matanya yang cokelat bening begitu tajam, menunjukkan apa yang dimaksud hukum adat itu benar-benar dijunjung tinggi.
            “Hukum adat mereka tidak bisa diubah dengan alasan apa pun, Dinar, “ Maya memperjelas, dan aku tetap belum memahaminya.
            “Aku ada rencana ke Cibeo bulan depan, sebaiknya kau ikut,” usul Maya.
            “Ulin ka Cibeo, Mba Dinar, biar lebih akrab dengan kami,” Zakri mulai membuka percakapan panjang meski gesture tubuhnya tidak berubah.
            “Nah, Zakri juga menawarkanmu untuk main ke Cibeo,” Maya bersorak.
            “Kebetulan lagi musim duren sama pete,” Zakri angkat bicara lagi.
            “Oya?” bola mataku membulat mendengar kata ‘duren’, aku penggemar daging buah durian. “Tapi sejauh apa ke Cibeo?” sejenak aku meragu. Membayangkan apa yang Maya ceritakan meski sepotong-sepotong, aku bisa mengerti kalau Baduy Dalam itu bukan jarak yang dekat.
            “Kalau dari sini jalan jeung kita memang jauh,” Zakri mencoba bergurau. Saat  tertawa, aku bisa melihat susunan giginya yang besar dan kuning gading. Tentu saja, jika sabun tidak boleh dipergunakan, odol atau pasta gigi juga tidak boleh.
            “Dari stasiun Beos ke terminal Aweh lalu lanjut dengan angkot menuju Ciboleger, dan... jalan kaki sampai Cibeo.” Maya memberi gambaran.
            “Dari Ciboleger ke Cibeo?” Rasa penasaranku bertumbuh. Melihat bentuk kaki Zakri dan kedua kawannya, itu kaki-kaki kokoh yang terlatih menempuh jarak sangat jauh. Kaki mereka pendek, jari-jarinya membentuk potongan jahe, jarak satu sama lain agak berjauhan dan digarisi urat kebiruan.
            “Yang terpenting sebelum kita ke sana, kau banyak latihan lari,” ujar Maya.
            Baiklah. Aku memutuskan untuk menerima tawaran Maya menuju Cibeo, aku pun berpesan kepada Zakri untuk memilihkan buah durian yang matang pohon. Menurut cerita laki-laki itu, buah durian di Cibeo tumbuh di hutan dengan liar. Rasanya legit sekali.
            “Rasa durian Baduy nyaeta kadua taya...” Begitu Zakri menggambarkan tentang durian Baduy yang tentu saja, ditranslitkan oleh Maya.
            “Din, sudah sampai,” aku merasa untuk kedua kalinya lututku ditepuk.
            Astaga! Sudah berapa lama mataku asyik menatap ke luar jendela, sibuk dengan pikiranku sendiri. Tahu-tahu wanita setengah baya tadi sudah tidak ada, mungkin tadi turun lebih dahulu dan kini penumpang lainnya berebut keluar dari angkot kecil yang sesak. Menurut cerita Maya, angkot menuju Ciboleger tidak banyak, pukul lima sore sudah habis. Jadi, angkot ini bukan angkot terakhir karena arloji ditanganku menunjukkan pukul satu siang. Di luar hujan masih turun, tapi tidak lagi deras hanya berupa rintik saja.
            “Mba Mayaaaaa!” seorang lelaki seusia Zakri, namun perawakannya lebih tinggi dan langsing menghampiri kami. Sejenak aku memperhatikan pria itu secara keseluruhan, pakaian yang dikenakan semua serba hitam, kakinya mengenakan alas sandal jepit.
            “Kartaaa!” Maya menyambut lelaki itu, terlihat benar keduanya sudah sangat kenal lama.
            “Dinar, ini Karta dari Gazebo suku Baduy Luar. Dia menjemput karena sudah diberitahu Zakri kita mau datang hari ini.” Maya memperkenalkan aku dengan Karta.
            Aku menyambut uluran tangan Karta. Jadi ini perbedaan penampilan Baduy Dalam dan Baduy Luar, diam-diam aku mulai mempelajari.
“Oya, kita akan bermalam dulu di rumah Karta, baru besok pagi Cibeo besok pagi.” 
“Kita tidak langsung menuju Cibeo?”
            “Kau yakin bisa langsung ke Cibeo?” lirikan mata Maya menggoda, membuat aku menyerah karena pasti apa yang diucapkannya memiliki maksud. Ah, aku kini mencium bau hujan dan tanah yang jauh lebih menyengat.
            “Hati-hati tanahnya licin.” Karta memperingati, dibanding Zakri dan kedua temannya, Karta jauh terlihat lebih familiar, terbuka. Matanya tidak secokelat Zakri, juga tidak tajam. Matanya hitam dan bersinar jenaka, seperti mata kebanyakan orang. Dia cukup baik membawakan ranselku, dan mendampingku menyisir tanah Baduy.
Sementara Maya berjalan begitu kokohnya, alam dan dirinya sudah menjadi satu. Bisa dilihat bagaimana kakinya yang terbalut sandal bertali menapak tanah licin tanpa ragu,  menyapa rumput, bebatuan, tanah, air hujan yang tergenang. Berbeda dengan kakiku meski sama-sama terbungkus sandal bertali. Tanah, batu, rumput dan genangan air berkali-kali nyaris menggelincirkan langkahku kalau saja Karta tidak sigap menyambar tanganku.
            Kutarik napas dalam dan menghembuskannya cepat. Maya mencintai alam dan alam sudah jatuh cinta pula pada gadis manis itu. Aku menyaksikan dengan takjub, bagaimana rintik hujan menjatuhi helaian rambut Maya menjadi bulir cahaya bak perhiasan yang disematkan ke rambut. Sementara aku memilih memakai topi untuk menghalangi air hujan.
            “Akhirnya sampai juga  kita, “ suara Karta disertai helaan napas lega.
            Aku termangu, masih kaget oleh jarak tempuh dan menyadari dengan sempurna mengapa Maya tidak langsung membawaku ke Cibeo. Di depan terdapat rumah panggung, rumah yang serupa aku temukan dalam perjalanan tadi. Kami disambut keluarga Karta dengan ramah dan riuh. Di rumah itu terdapat orangtua Karta yang masih cukup muda, lalu istri dan dua anaknya. Lelaki semuda itu ternyata sudah menjadi seorang Ayah.
            “ Setiap mengunjungi Baduy, aku selalu bermalam di sini, Din,” kata Maya setelah kami duduk menikmati kopi, kopi yang beraroma wangi dan sensasi bau asap dari kayu bakar yang dibuat menjerang airnya. “Aku mengenal Karta dari dia belum menikah, aku kenal dia sedekat aku kenal Zakri.”
            Aku mengangguk, menyimak setiap kata yang Maya ucapkan. Minuman kopi kemudian berganti hidangan makan besar. Kami makan bersama-sama di beranda rumah Karta, ada nasi merah, ikan asin, pete bakar. Harumnya membuat hidangan sederhana itu terasa mewah.
            “Hayuk, urang dahar sakenyangnya...” Ayah Karta mempersilakan. Senyumnya demikian lebar dinaungi kumis tebal.
            Kami makan dengan piring-piring putih dari keramik. Karta sibuk menyendokan nasi ke piring Maya, keduanya juga berbagi pete bakar, keakraban yang tulus. Istri Karta sibuk menuangkan air putih, yang ketika kuteguk menguap aroma asap yang kuat. Awalnya terasa sedikit asing, namun ketika menyusul sekepal kecil nasi merah dan sepotong ikan asin ke mulut. Aroma asap menyatu dari segala arah, rasanya unik dan membuat aku lahap.
            “Kau tahu, ketulusan mereka ini selalu melahirkan rasa rindu sejauh apapun aku pergi.” Itu diucapkan Maya menjelang tidur, ketika bumi menjadi benar-benar gelap dan hanya diterangi lampu minyak kecil. Bahkan untuk melihat telapak tanganku sendiri, tidak terlihat. Di luar masih mendung meski hujan tidak lagi jatuh.
            Aku menarik krah sweaterku hingga full menutup sampai permukaan bibir. Angin malam menyelusup dengan bebas melalui lubang di dinding bambu, memeluk seluruh tubuhku hingga hangat sweater terabaikan. Begitu dingin, aku kedinginan dan mencoba bergulir lebih dekat ke tubuh  Maya yang dilapisi jaket parasut.
            Gadis itu tidak terdengar lagi suaranya, hanya napas halusnya terdengar sayup, lebih kencang suara tangis putra kedua Karta yang tiba-tiba terbangun dan menangis. Mungkin batita kecil itu kedinginan hanya mengenakan pakaian dari kain hitam yang tipis tanpa kaos kaki atau pun topi. Namun tangisnya perlahan reda begitu mendengar suara Ambu’nya menggumamkan nyanyian. Aku mendengar nyanyian berbahasa Sunda yang tidak kumengerti artinya, tapi terasa sendu di telinga. Menghadirkan rasa kantuk yang sulit ditolak, mungkin aku pun tertidur karena suara nyanyian itu.
...
            Membasuh diri ala kadarnya karena angin pagi sangat tidak bersahabat, telapak kakiku saat menyentuh air sungai terasa beku, mati rasa. Kulitku berangsur memucat, sementara Maya asyik membersihkan diri secara keseluruhan.
            “Ayolah, Dinar, hanya di sini kita bebas menggunakan sabun, shampo. Besok setelah keluar Cibeo lagi, baru kita bisa merasakan nikmatnya gosok gigi!” Maya  berteriak karena suasana di sungai lumayan riuh. Para wanita Baduy sibuk beraktifitas, mulai dari mencuci piring, baju hingga membersihkan diri.
            Aku menggeleng, gigi-gigiku terasa bergoyang menahan dingin. Sebaiknya menggosok gigi saja, cukup. Aku tidak kuat berlama-lama di sungai.
            Usai menyantap sarapan yang disediakan istri Karta, Maya berpamitan untuk menuju Cibeo. Karta mengantarkan sampai perbatasan Baduy Luar dan Dalam yang dibatasi sungai berair sebening kaca dengan jembatan dari jalinan akar. Aku merasa begitu takjub dengan jembatan itu, betapa alam menyediakan semuanya dengan sempurna.
            “Alam memberi mereka secara sempurna, karena mereka memberikan kesetiaan yang sempurna juga kepada alam,” kata Maya.
            Ya, ya, saling setia antara alam dan isinya. Aku menyapu bulir keringat yang bersembulan di kening, jika perjalanan dari Ciboleger ke Gazebo membuat aku nyaris tergelincir berapa kali. Maka perjalanan dari Gazebo ke Cibeo membuat aku haus berkali-kali, karena matahari bersinar penuh. Suasana sekitar begitu sepi, hanya sesekali kami bertemu orang Baduy Luar yang membawa bumbung bambu.
            “Mereka menggunakan bumbung bambu untuk mengambil air ke sungai atau air aren,” ujar Maya. “Kau dengan suara tak-tok itu?”
            Saat menaiki bukit aku mendengar suara tak-tok yang terdengar dari jauh, suaranya menjadi begitu nyaring dan fokus karena tidak ada suara lain. Alam Baduy benar-benar sunyi. Ketika kami dekat dengan suara itu, Maya menunjuk ke atas,  “Masyarakat Baduy menyadap pohon aren untuk diambil airnya dan dijadikan tuak, gula merah.”
            Aku melihat sesosok pria berpakaian serba putih tengah mengarahkan goloknya ke batang bunga nira, dan di bawahnya ada bumbung bambu yang diikat. Saat pria itu melihat ke arah kami, dia melambai dengan goloknya dan Maya berteriak keras, “Mang Roja!”
            Mang Roja membalas, “Ditunggu diimah, Neng!’
            “Mang Roja Ayahnya Zakri. Katanya kita sudah ditunggu Zakri di rumah,” bisik Maya. Setelah mengucapkan terima kasih, kami melanjutkan perjalanan. Menyusuri lembah, dataran, tanah masih sedikit becek, rerumputan tersembul hijau. Sesekali aku meminta berhenti di gubuk-gubukan yang kosong, kata Maya gubuk itu memang dibuat untuk tempat peristirahatan siapa saja. Kami minum serta makan bekal yang dibuatkan istri Karta, nasi merah dan ikan asin yang dibungkus daun pisang, harum sekali.
            “Sedikit lagi kita sampai, begitu terlihat jembatan Baduy Dalam... langsung Cibeo. Semoga hujan tidak turun malam ini karena Cibeo lebih dingin dari Gazebo,” ujar Maya.
            Spontan aku melotot, “Coba aku bawa sleeping bag,” keluhku.
            “Buat apa ke Baduy kalau tidak merasakan alamnya, mau hangat tidurlah di kamarmu,” seloroh Maya. Kami sudah meneruskan perjalanan kembali, angin berhembus menggoyangkan daun-daun di kiri-kanan.
            Aku hanya manyun dengan seloroh Maya sehingga tawa gadis itu pecah. Memecah sepi membuat seekor kupu-kupu yang hinggap di bunga warna ungu, melonjak terbang jauh. Di sini segala serangga hidup dengan makmur, aku lihat tidak hanya kupu-kupu, tapi juga belalang sembah kehijauan yang terlihat menggerak-gerakkan kedua kakinya di atas batang pohon, segerombolan kepik emas yang berbaris di tepi daun.
            Sederhana, tapi pemandangan alam yang mulai punah. Setidaknya di kota besar macam Jakarta, aku kehilangan serangga-serangga itu. Nyamuk dan lalat justru yang meruyak tidak tertelan jaman, sekejam apapun jaman berlangsung.
            “Lihat, itu rumah Zakri!” tiba-tiba Maya berseru setelah kami menyeberangi jembatan.
            Aku melihat sebuah perkampungan kecil yang dikelilingi hutan dan sungai, kondisi tempat tinggal di sini jauh lebih sederhana dari di Gazebo, juga lebih kecil, lebih sedikit jumlah gubuk-gubuknya dan...tentu saja lebih sunyi.
            Tidak tampak seliweran orang seperti di Gazebo, jika kebetulan bertemu warganya terutama wanita, pasti melengos. Kalau pun disapa hanya membalas sekilas dengan senyum takut-takut, berbeda dengan di Gazebo, wanitanya disapa akan membalas menyapa, senyumnya lebih lebar dan berani.
            “Mba Maya!” suara keras dari seorang pria yang sangat aku hapal sosoknya membuat kami bersorak senang. Zakri terlihat turun dari tangga gubuknya, menyambut ramah. Tidak seperti di rumah Karta, anak istrinya ikut menyambut. Ini hanya Zakri saja, apakah Zakri belum menikah?
            “Mba Dinar, di dieu teuing?” Rupanya Zakri masih mengingatku dengan sempurna.
            Ketika masuk ke dalam gubuknya, baru terlihat istri Zakri. Wanita muda yang mungil, berkulit kuning dengan rambut keriting cokelat, bola  matanya bening juga kecokelatan seperti milik Zakri. Hanya saja, bola mata istri Zakri tidak tajam, tapi lembut dan lugu. Kami disuguhi air putih dan gula aren. Air putih disajikan dalam botol dan cangkir-cangkir berupa cawan putih.       Selesai menyajikan minum, istri Zakri menghilang ke dalam, tidak keluar lagi. Hanya sesekali terdengar suaranya serak-serak basah menidurkan bayinya.
            Tidak lama kemudian obrolan kami jadi ramai, karena dua teman Zakri yang waktu itu aku temui di kost’an Maya datang membawa durian. Tercipta obrolan cukup riuh disertai aroma wangi durian yang menyengat. Sungguh, bulir durian Baduy Dalam ini memiliki daging yang legit sekali, meski tidak setebal durian montong.
            Tuhan punya segala media untuk menurunkan anugerahNya.
            ...
            “Aku mau mandi, May,” ujarku begitu hari mulai menuju senja. Sejak turun dari angkot Ciboleger kemarin, aku belum membersihkan diri dengan sempurna.
            “Oya, aman kan, lokasi mandinya. Tidak mungkin ada akses buat mengintip?” aku berbisik cemas. Tidak biasa mandi di alam terbuka, rasanya berbagai perasan tidak nyaman terbayang.
            Maya tertawa, lalu melotot ke arahku dengan serius, “Kau tahu seperti apa masyarakat Baduy memegang teguh adat istiadat, seperti itu lah kejujuran mereka. Di sini sungai untuk mandi laki-laki dan wanita terpisah.”
            Sungai untuk mandi para wanita di Cibeo jauh lebih jernih dan rindang dari sungai-sungai yang kulewati saat memasuki Baduy. Pohon besar  menaungi, angin sore meniup daun-daun. Tiba-tiba rasa gatal karena sejak kemarin belum membersihkan diri menggodaku untuk menggunakan sabun cair yang kubawa, cukup sedikit saja masakah merusak harmoni alam. Dengan sembunyi-sembuyi dari penglihatan Maya dan beberapa wanita Baduy yang tengah membersihkan diri, aku menggosok kulit dengan sabun cair, segar. Derasnya air sungai mengaburkan aroma dan buihnya.
            Namun berapa saat kemudian, tubuhku dipenuhi bintik menyerupai kulit tokek. Astaga, kenapa ini? Hingga Cibeo dinaungi malam, bintik di seluruh tubuhku nyaris menyeluruh, rasanya tidak gatal tapi aneh. Aku merasa seperti diselubungi sesuatu yang aneh, mencekam.
            “Maya, kau lihat kulitku?” karena tidak tahan, aku membuka sweater dan menunjukkan ke Maya, malam ini setelah selesai makan malam bersama keluarga Zakri.
            “Kau biduran, alergi dinginkah?”
            Aku menggeleng dan rupanya Zakri membaca kegelisahanku, laki-laki itu menghampiri. Melihat lenganku hingga batas siku, terlihat ekspresi wajahnya terkejut, dan kudengar suara tertahan di tenggorokannya, “Mba Dinar, dikentutin jurik...”
            Dikentutin jurik? Aku melempar pandangan ke Zakri dan Maya bergantian.
            “Mba Dinar, ngalanggar larangan urang?” Sorot mata Zakri begitu tajam, lebih tajam dari yang pernah kulihat sampai aku tertegun. Adakah sesuatu yang terjadi?
            “Din, kau melanggar sesuatu yang tidak diperbolehkan?” Maya ikut bertanya dengan nada pelan, hati-hati namun tatap matanya penuh selidik.
            Sesaat aku terdiam, kemudian dengan gemetar kuceritakan tentang sabun cair di sungai tadi sore. Sedasyat itukan efeknya? Aku masih belum mengerti.
            “Saya harus meminta tolong Kokolot,” kata Zakri cepat, lalu berserta salah satu warga Cibeo, diantara kegelapan malam memanggil seorang pria setengah baya yang disebut Kokolot atau dukun.
Pria setengah baya itu tidak banyak bicara, hanya memintaku untuk menceritakan semua pelanggaran tadi sore. Entah, mantra apa yang diucapkannya sambil memegang sebatang umbi semacam jahe yang didekatkan ke bibirnya, dibaca-bacakan, lalu diserahkan ke istri Zakri.
            “Bangle ieu disemprot sakumna awaknya...”
            Istri Zakri yang selalu terlihat diam,  memberiku isyarat masuk ke biliknya. Sebuah kamar yang hanya dibatasi bilik bambu dan kain tirai hitam. Untung bayi Zakri tertidur pulas.
Baju kabuka...” ujarnya kemudian. Ketika melihatku terpaku, lagi-lagi dia memberi isyarat. Isyarat agar aku membuka baju. Umbi menyerupai jahe yang tadi diberikan lelaki baya yang membaca mantra, dikunyahnya hingga hancur dan...disemburkan ke seluruh tubuhku. Hujan bau-bauan rempah yang asing jatuh ke tubuhku. Aku hanya dapat terdiam menahan napas. Merasakan dingin yang memilin dari hembusan angin di atas atap yang hanya ditutupi daun rumbia juga hembusan angin dari bawah yang merupakan rumah panggung. Sementara di luar bilik kamar, masih terdengar suara-suara Maya, Zakri dan yang lain.
Apa yang terjadi, dalam hitungan menit hilang semua bintik dilkulitku. Hilang semua perasaan yang menyelimuti. Aku merasa seperti baru keluar dari mimpi buruk.
Nu lain kudu dilainkeun, nu enya kudu dienyakeun nu ulah kudu diulahkeun, Mba Dinar...
Aku tersentak, istri Zakri mengeluarkan suara yang cukup panjang dengan tatapan mata yang demikian fokus padaku. Saat itu aku sudah mengenakan seluruh bajuku, berdiri tak bergeming.
“Yang bukan harus dikatakan bukan, yang benar harus dikatakan benar, yang dilarang harus dikatakan dilarang.. begitulah mereka menjaga alam, Din.” Suara Maya menarikku, gadis itu sudah berdiri di dalam bilik.
Dan, menyusul suara Zakri seperti jarum yang menusuk labirin telinga, “Hukum adat teu meunang dirobah...”
Hingga saatnya meninggalkan Cibeo kepalaku tidak mampu terangkat, hanya merunduk dalam. Seakan dalam sekejap bumi mengasingkan diriku, aku malu sekali pun hanya untuk menghirup bau hujan dan tanah..

***

Baca Cerpen Lainnya Juga Ya:

You May Also Like

1 komentar