BAPER?
Apaan tuh? Sekarang
banyak hal sering disingkat-singkat atau dibuat istilah-istilah dan menjadi
bahasa yang fenomena, dari mulai KEPO alias sok tahu atau mau tahu aja, sampai
BAPER alias bawa perasaan. Saya sebut
fenomena karena dari teman saya yang
sudah pasti ibu-ibu (baca: usia di atas dewasa hehehe) sampai anak saya
yang usia 7 tahun, sering memakai kata itu. Familiar sekali.
Seperti ketika dua anak
saya, Lintang (10tahun) dan Pijar (7tahun) tengah main kata-kataan, saat si
kakak terlihat marah maka si adik langsung nyeletuk, “Kayak gitu aja baper!”
atau kasus lain, saat seorang teman menang lomba ngeblog-ada teman lain
(seorang ibu) komen ke saya: “Duh, gue baper nih ngeliat hiruk pikuk yang pada
pamer menang lomba. Kapan gue menang?”
Bahkan ketika saya buat
status biasa yang mungkin mengena di hati seseorang yang membacanya, tahu-tahu
ada komen dibawahnya: “Baper deh baca ini.” Tentu saja saya jadi tidak enak
hati, karena maksud menulis status tersebut berbeda dengan presepsi orang
tersebut. Tapi kata baper tidak selalu merujuk ke hal-hal yang sensitif, kadang
bisa menjadi candaan yang tidak berarti juga. Dilontarkan sebagai guyonan yang
mengundang tawa, lalu hilang.
Ketika saya cerita soal
makanan yang enak, lalu seorang teman dengan cengegesan bilang, “Aduuh, bikin
baper deh gak ikut nyobain.” Atau saat saya dengar anak-anak saya dan
teman-temannya main cela-celaan dan mereka teriak ramai-ramai, “Baper! Baper!”
Tahu gak cela-celaan
apa? Cela-celaan kata berbalas kata, hehehe...coba maksudnya apa lagi? Seakan
setiap kata yang sedang in, sekarang bahasa kerennya ‘kekinian’ selalu menjadi
ucapan yang membiasa-terbiasa sehingga sering hilang maknanya. Mereka main
mengucapkan tapi tidak pas, menurut saya sih.
Namun dibalik itu,
baper di kalangan orang dewasa bisa menjadi boomerang yang menyerang tanpa
tersadari. Kok menjadi boomerang? Yap, tahu kah, ketika suatu hari saya
menyadari kata BAPER itu kata lain dari penyakit hati. WHAT?