Awal Menjadi Ibu Rumah
Tangga : Terpuruk oleh rutinitas
Ketika remaja saya bercita-cita menjadi wanita karir, sama
sekali tidak bermimpi menjadi ibu rumah tangga yang hanya berkutat di rumah
mengurus logistik, rumah, anak. Melihat rutinitas ibu di rumah yang membuat
saya tidak ingin menjadi ibu rumah tangga, apalagi saya menyukai tantangan,
sosialisasi, dan juga shopping.
Namun ketika takdir berpihak lain, saya mendapat jodoh di
usia 27 tahun dan langsung diberi momongan seorang bayi perempuan cantik,
Lintang. Pada awalnya masih tinggal di rumah ibu, masih ada yang ikut membantu
memegang anak dan urusan ala ibu rumah tangga lainnya, karena di rumah ibu
banyak famili yang siap sedia membantu. Sehingga meski sudah menikah dan
memiliki anak, saya tetap bekerja di kantor dengan enjoy, masih rutin ketemu
teman-teman.
Sampai kemudian suami memutuskan untuk pisah rumah dengan
orangtua, kami mengontrak rumah mungil. Di sini mulai saya merasakan menjadi
ibu rumah tangga yang sebenarnya, memasak, mengasuh anak, membersihkan rumah,
meski dibantu suami rasanya tetap kerja keras sekali. Berangkat ke kantor tubuh
sudah lelah, pulang lelah masih begadang mengurus Lintang.
Baru saya rasakan apa yang pernah ibu keluhkan, yakni tubuh
luluh latak. Ampun, kalah semua rutinitas yang pernah saya lakukan sebelumnya.
Sebelum menikah selain bekerja di kantor, saya hobby kegiatan alam. Bahkan
malam baru turun gunung, paginya sudah berangkat ke kantor. Namun semua itu
kalah dengan letihnya seorang ibu.
Apalagi kemudian lahir
anak ke dua, saya menyerah untuk resign. Resmilah saya menjadi ibu rumah
tangga, terbebas dari rutinitas pagi mandi bersih, berdandan rapi dan wangi,
terjebak macet, berkutat dengan target, berkumpul dengan teman-teman, tertawa
setiap hari saat jam makan siang. Hari-hari hanya rumah dan rumah hingga saya
merasa terkurung dalam dinding putih, bau minyak kayu putih, aroma diapers, dan
susu.