Monday

MALAIKAT BADUT


Oleh: Eni Martini

Kau tahu ada satu pertanyaan yang menggerus pikiranku hingga kini, pertanyaan yang kulontarkan dari 25 tahun lalu hingga kini usiaku 30 tahun. Bisa ditebak, waktu itu aku berusia 5 tahun, seorang gadis kecil dengan pipi chubby, mata bundar, rambut lurus dimodel bob dengan poni mirip tokoh kartun anak-anak yang populer sekarang: Dora.
Pipiku memang chubby tapi tubuhku tidak gendut, bobot tubuhku biasa saja. Jadi memang begitulah model pipiku, yang sering jadi sasaran kegemasan orang-orang dewasa. Mereka menoel, mencubit pelan sampai meremas sangat gemas dan aku tidak suka, karena kerap menimbulkan sakit dan meninggalkan jejak kemerahan di pipiku. Tak perduli itu karena mereka gemas sayang atau kagum, aku tidak suka.
            Kembali pada pertanyaan yang menggerus pikiranku selama 25 tahun, pada sebuah pesta yang mewah atau sederhana, yang penuh suka cita, hingar bingar tepuk tangan dan musik, mengapa kehadiran badut sangat disukai, bahkan pada pesta-pesta ulang tahun anak-anak badut seakan menjadi point center yang WOW? Mengapa?

            Lihatlah sosok badut, tubuhnya besar gembul, hidungnya bulat merah mirip tomat busuk, bibirnya membelah dower sekali dengan sepasang mata besar yang menyerupai sumur tua, wajahnya dimake up sangat jelek, totali...badut itu menyeramkan buatku, sama menyeramkan seperti hantu yang digambarkan bersosok menakutkan.
            “Pulang, Ma! PULAAAAANG!” aku pernah histeris disebuah pesta ulang tahun Katrin, teman sekelasku di TK. Untuk pertama kalinya aku bertemu langsung, tubuhku gemetaran, badut yang bertubuh besar itu asyik bermain bola lempar, dikerubuti anak-anak dengan gembira. Mereka berteriak, meminta sang badut terus memainkan bola-bola berjumlah 10 dalam tanganya. Bertepuk tangan saat badut itu semakin gencar melempar bola, melambungkannya keatas dan mampu ditangkap semua bergantian secara sempurna.
            Anak-anak bahkan meminta bermain bersama si badut, berfoto, namun hanya anak-anak terpilih saja yang bisa maju ke depan pentas untuk bermain dan berfoto dengan badut. Dan...entah kenapa, aku yang menjauh dari areal menyeramkan itu, justru dipanggil untuk maju, gemetaran lah seluruh tubuhku. Gaun pesta model putri salju yang kukenakan basah oleh keringat, aku menjerit sekuatnya. Sampai Mama yang menemaniku ke pesta Katrin masuk ke ruangan pesta, dan menggendongku keluar.
            “Takuuuut, Ma. Ai, takuuuuuuut...” aku begitu menggigil, memeluk erat tubuh Mama, mencari detak jantung Mama, menyakini diri bahwa aku jauh dari jangkauan badut menyeramkan itu. Yang tubuhnya timbul tenggelam dalam  lautan anak-anak dan balon warna-warni.
            “Nanti juga Ai akan berani, badut tidak jahat kok. Lihat, wajahnya selalu tersenyum dengan bibir yang merah semerah hidung dan pipinya, “hibur Mama, berusaha meredakan takutku. Namun ketika waktu melesat terus,  aku tumbuh menjadi gadis remaja, gadis dewasa, Mama bukan lagi menenangkan, menghibur ketika aku masih gemetaran dengan sosok badut. Mama seperti menertawakan dan memarahi ketakutanku.
            Pernah kami pergi bersama keponakan-keponakan, yaitu anak dari kakak-kakakku ke dunia fantasi. Apa yang terjadi? Aku nyaris tak bergerak di sudut yang sepi tanpa permainan dan badut. Sementara yang lain asyik menikmati segala hal di sana. Aku muak, muak harus berpapasan dengan badut, apakah aku phobia? Konon, phobia merupakan mekanisme pelarian dari konflik-konflik batiniah jiwa seseorang, tapi apa konflik batinku dengan badut? Aku hanya merasa badut seperti hantu yang mengerikan, itu saja. Dari kecil aku sudah terkonsep dengan gambaran badut itu menakutkan.
            “Kamu gak malu sama keponakanmu, Ai?” Mama menatapku, setelah gagal mengajakku gabung dengan yang lainnya untuk masuk istana boneka di dunia fantasi. Karena di depan pintu masuknya ada dua badut yang tengah bergoyang-goyang, menyapa pengunjung seraya membagikan bunga plastik.
            “Badut itu dalamnya orang, Ai. Manusia, mereka hanya sedang bekerja pakai kostum badut, apa yang menyeramkan?” Mama sering kehilangan kesabaran untuk sikapku. Lalu biasanya Mama akan meninggalkanku, membiarkan aku dengan pilihanku untuk kabur dari badut-badut yang memang banyak bertebaran di dunia fantasi.
            “Tiga puluh tahun loh, Ai, kamu sudah sangat dewasa. Masiiih juga takut sama badut,” Kakak-kakakku ikut hilang kesabaran.
            “Apa jangan-jangan kamu pun takut sama laki-laki seperti takut pada badut?”
         Lihatlah, mereka mulai menyudutkan aku soal badut menjadi soal laki-laki, permasalahannya bertumpu pada usiaku yang 30 tahun belum juga menikah, belum juga menemukan lelaki yang datang dengan kata lamaran. Semua datang dan menghilang seperti musim.
            Sampai datang seorang lelaki yang begitu damai, memiliki sepasang mata dan senyum yang meneduhkan, Bisma. Ya, Bisma...aku tak berharap banyak tapi sesungguhnya memiliki mimpi penuh tentangnya hanya takut untuk menguraikan dengan nyata. Sebab...apakah Bisma juga akan seperti musim yang datang padaku?
            “Siapa lagi teman laki-lakimu, Ai?” Mama menegurku suatu kali, seperti biasa sebenarnya. Semakin gencar setelah usiaku 30 tahun.
            “Tidak kah dirimu berpikir untuk lebih serius?”
            “Suami bisa menjagamu jika ketemu badut,” Mama meledek jika tidak menemukan titik temu yang jelas, saat ngobrol denganku tentang laki-laki yang dekat denganku.
            Ledekan yang membuat aku tertawa diam-diam, masa sih? Apakah badut sudah seperti serangga yang pasti ada di mana-mana, mudah ditemukan dimana-mana? Sejak aku semakin dewasa, aku semakin jarang menjumpainya karena seusiaku pesta-pesta dengan badut sudah bukan masanya. Kecuali aku sengaja datang ke tempat-tempat wisata seperti dunia fantasi, tapi benar juga ucapan Mama..
Jika kelak aku memiliki suami, lalu anak, saat anak-anakku tumbuh dan diundang ke pesta ulang tahun teman-temannya, ada Papa mereka atau suamiku yang menyelamatkan aku dari jangkauan badut. Sebab, anak-anak ke pesta ditemani Papa mereka.
Senyumku meruah, tubuhku gemetar, bukan gemetar takut tapi rincinya adalah gemetar efek dari rasa bahagia yang menguasai seluruh perasaanku dan saat itu yang terlukis dalam imajinasiku dengan sempurna adalah sosok...BISMA.
“Bis... apakah yang terekam dalam kepalamu tentang masa depan?” suatu hari aku mencoba menjadi wanita yang mendekati nekat. Sumpah! Aku tidak tahan berpikir tentang musim, aku tidak akan tahun kapan musim itu akan menetap dan pergi. Aku terlanjur terjebak pada musim yang disuguhkan Bisma.
Sumpah! Aku gemetar nyaris pingsan, kali ini gemetarku bukan takut, bukan bahagia, tapi berada pada puncak rasa yang tak jelas, tidak  kupahami. Tubuhku selesai gemetar lalu terasa ringan, mati rasa dan tuli, yang kutangkap hanya gerakan bibir Bisma. Padahal aku butuh suaranya, penjelasannya. Tolong! Aku nyaris berteriak seperti saat kanak-kanak melihat badut, dan memohon berlindung didetak jantung Mama.
            “Besok aku akan ke rumahmu, Ai..” hanya itu suara yang tertangkap, selebihnya adalah perpisahan seperti biasa. Bisma pamit kerja, kami menyudahi pertemuan pendek di meja kopi. Ritme kerja Bisma kadang pagi, kadang siang, metode shif sehingga pertemuan yang terjadi bisa saat minum kopi pagi atau makan siang.
            “Bisma itu kerjanya apa Ai?” Mama pernah bertanya, aku tak menemukan jawabannya karena memang aku belum menanyakannya pada Bisma. Aku berpikir, mungkin Bisma hanya musim yang datang. Tak perlu terlalu jauh memahaminya, tapi setelah pertemuan pagi tadi, besok saat Bisma akan ke rumah untuk pertama kali, aku akan bertanya, apa pekerjaannya. Untuk apa, entahlah...yang jelas aku mulai takut dengan musim, bisa jadi takutnya melebihi takutku pada badut jelek yang menyeramkan.
            “Untuk apa besok kau ke rumahku, Bis?” aku meneleponnya. Diam-diam aku penasaran, belum kuceritakan Mama kalau Bisma akan datang ke rumah besok. Aku takut Mama berharap banyak, sebanyak mimpi yang aku punya saat ini.
            “Menjawab pertanyaanmu tentang masa depan...”
            “MAKSUDMU?”
            “Tunggu aku besok pagi, jam sepuluh...”
            Sumpah! Aku kesulitan terpejam dengan cepat seperti biasa. Aku gelisah tapi juga tidak bisa cerita, sepanjang malam aku berdoa hal terbaik, dan aku bermimpi aneh tentang malaikat. Aku didatangi seorang laki-laki, tidak tahu siapa dia. Dia hanya mengaku sebagai malaikat yang hendak menjaga hidupku. Apakah ini semacam bentuk dari impianku akan seorang malaikat  pendamping hidup, Bisma?
            Sial! Kegelisahan membuat aku kesiangan, aku terbangun dengan situasi kacau karena sudah pukul setengah sepuluh, aku belum  mengabarkan kepada Mama soal kedatangan Bisma. Aku harus segera mandi, mengenakan baju yang enak dipandang mata, lalu menemui Mama, mengatakan akan kedatangan Bisma pagi ini.
            Selesai mandi, aku justru terkejut...seperti ada sebuah pesta di rumahku. Mama dan kakakku yang tinggal bersama kami, berikut suami dan anaknya, riuh sekali suara mereka. Ada apakah?
            “Tante Ai ada baduuuuuut!” tahu-tahu Tias keponakanku yang terkecil, berusia 5 tahun bersorak dan aku...aku gemetaran melihat badut besar dengan hidung menyerupai tomat busuk, bibir dower terbelah yang selalu tersenyum, ada di dalam rumahku. Badut itu berjalan ke arahku, membawa bunga tulip putih dan... mengansurkan bunganya padaku bak pangeran dalam negeri dongeng. Jaraknya denganku begitu dekat, bahkan tanggannya yang memegang bunga nyaris menyentuhku  hingga aku menjerit histeris.
            “MAMAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!”
            Aku merasakan tubuhku melayang, gemetar yang menghebat lenyap menjadi rasa kebas yang menyeluruh, tapi Mama jauh dari jangkauanku, tidak menyelamatkan aku seperti dulu saat aku kanak.
            “AIDAAAAAA!” diantara rasa kebas, aku melihat badut itu melepas topengnya, menghempaskan wajah jelek itu ke lantai, wajah badut berdetum  menghantam lantai persis bagian hidunganya yang menjijikan, dan aku terpana...BISMA!
            “Ini aku, Ai...pekerjaanku memang menjadi badut di sebuah tempat wisata. Hari ini aku buat suprise, aku melamarmu. Inilah jawabanku tentang masa depan itu...” Bisma berkata lembut sambil menompang tubuhku yang nyaris terjatuh tadi. Kulitku merinding, bersintuhan dengan tubuh dan tangan badut. Tapi...inikah malaikat yang dikirim Tuhan untukku?
           
-The End-





7 comments:

  1. Kasian ya ai. Takut badut malah dilamar badut. Tapi mmg sih. Badut utu serem.

    ReplyDelete
  2. hahahahahah.... kebayang deh jadi Aida, btw rasa takut itu memang susah diilangin

    ReplyDelete
  3. Keren idenya ... btw ... nanya dong mbak, kenapa pilih nama Aida, bukan Ade atau Leyla? *plak* :D

    Oya menoel itu ada dalam bahasa Indonesia kah?

    ReplyDelete
  4. @Ihan:Aku takut keong racun, kata anakku "aneh" karena aku ga takut elus-elus macan hahaha

    ReplyDelete
  5. @Mugniar: Aku biasa menulis fiksi dengan bahasa yang campur seperti kehidupan sehari-hari

    ReplyDelete
  6. sangat mengejutkan kak endingnya... engga nyangka..hahaha
    keren banget ceritanya... bagus bagus...

    ReplyDelete