Sunday

MEMINANG CINTA


By: Eni Martini
            "Ho panggonti ni1 Ayah, Mahdi. Pernikahan itu tidak sekedar cinta antara laki laki dan perempuan tapi ada akar yang harus kau tumbuhkan,agar pohon pohon yang Ayah tanam tumbuh terus." suara Ayah dalam, matanya tajam dan bening seolah bagai ceruk telaga, alis tebal menaunginya. Sungguh, meski   mata itu terkesan angker karena sikap Ayah yang dingin, pendiam, ketus, sesungguhnya merupakan bagian terindah di wajah Ayah.
Wajah dengan rahang kokoh dibarisi bulu disekitar dagu hingga nyaris mencapai bawah kuping, yang jarang tercukur rapi kecuali  Umak2 sudah meletakan perlengkapan cukur di meja kopinya sebagai tanda rahang itu semakin tenggelam dan harus dibenahi, Ayah akan terlihat sedikit muda dengan bayangan kebiruan di dagu dan rahangnya.
            Sungguh, meski usianya sudah mencapai enam puluh tahun, masih dapat ditemui garis yang menampakan muda dulu Ayah mewarisi ketampanan pria Tapanulis Selatan yang Khas. Begitu juga dirinya...

  ...
            Mahdi melirik sekilas ke kaca rayben di balik rak buku toko karena tubuhnya menjulang, ia bisa melihat rautnya.
...
            "Gadis seperti apa yang kau cari, Mahdi? Merisa boru Lubis itu cantik, sarjana lulusan Amerika, setiap pulang kampung dia kerap menghadiri pesta pesta adat, banyak yang berebut untuk menjadikannya menantu. Huambangkon topet jadi pardibagasmu3."
Kesempurnaan rupa... Pendidikan tinggi, dua hal yang selalu masuk dalam pilihan orang orang sebagai syarat menantu, pasangan hidup anaknya, sepertinya cinta menjadi hal sepele dan termarginalkan. Sementara bukankah setiap manusia memiliki cinta, bahkan andai mau jujur dan menepis syarat syarat hebat keduniawian itu...setiap hati manusia tidak ada yang tidak ditumbuhi cinta walau hatinya sudah tandus. Cinta mampu menjadi tumbuhan mawar di padang subur atau kaktus di gurun pasir.
"Misi, Pak..."
Ups! Mahdi tersentak, reflek tubuhnya maju menyentuh sisi rak buku ketika seorang gadis muda, mungkin berusia sekitar dua puluhan melewati lorong tempat ia berdiri mencari sebuah buku yang belum juga ditemukannya.
Wangi bunga yang segar menerobos hidungnya ketika gadis itu melintas dengan cepat, menuju rak di pojok yang kosong. Gadis yang cukup cantik dengan rambut bergelombang melebihi bahu dan tubuh semampai terbungkus jeans berpadu atasan khas gaya masa kini, entah apa nama modelnya, ia tidak begitu paham jenis jenis baju wanita.
Ehmmm..Pak?
Kembali sekilas diliriknya kaca gelap di depannya, di balik rak...Apakah ia begitu terlihat tua hingga gadis berusia dua puluhan itu memanggilnya PAK? Bukan Mas, Kak, atau Abang...atau....
Mahdi terpingkal dalam hati, yaaaah....tiga lima tahun dengan bulu cukup lebat di dagu dan rahang, berkemeja kotak kotak biru, celana bahan dan sepatu kerja dirinya memang layak dipanggil PAK ketimbang Mas apalagi Kakak.                                                                                                                                      ...

"Jika tahun ini kau belum juga memutuskan menikah maka Ayah pastikan kau akan menikah dengan Merisa!"
"Yaah, sudahlah Mahdi mungkin punya pertimbangan sendiri. Dia, kan laki laki usia bukan pegangan untuk menikah." Umak membuka suara seperti biasa, memberi belaan bagi putranya.
"Kau tahu, Mak, Mahdi putra kita satu satunya. Rasti dan Nuzly menikah dan melahirkan putra putri penerus generasi suami mereka, maka Mahdi pun harus menikah untuk meneruskan generasi penerusku, Harahap. Hanya dia satu satunya dan..."
Pasti alasan yang sudah berkali kali keluar akan Ayah ucapkan lagi, dimana Umak dan Mahdi hapal diluar kepala berikut gaya pengucapan Ayah: dikepit rokok kreteknya diantara jari telunjuk dan ibu jari, menghujamkan bara apinya ke asbak hingga tandas, mati, seraya matanya menyorot tajam pada lawan bicaranya...
"Au ndara parmaenku naso giat4 ULOS dan paham akan adat!"
Umak hanya menarik napas,menghembuskan perlahan seakan sebagai tanda agar dirinya bicara. Memberi ucapan yang seimbang kepada Ayah agar diskusinya memiliki penutup yang manis, tapi seperti biasa dan Umak atau Ayah pasti akan tahu...dirinya hanya diam mematung.
"Mahdi... Umak tahu kau tidak menyukai Merisa, tapi setidaknya kau bisa jawab kalau wanita yang mencintai ulos dan tahu adat kita itu tidak hanya Merisa" Umak berkata penuh kejengkelan, namun tentu tidak di depan Ayah.
"Ayah sebenarnya tidak memaksa kau harus menikahi Merisa, kau boleh menikahi siapa saja tapi wanita yang mencintai ulos dan tahu adat kita agar generasi penerus tidak hanya sekedar ditempeli marga Harahap..."
Wajah Umak memerah, entah menahan marah atau tangis karena setiap pulang ke Sipirok selalu membuncah amarah Ayah kepada Mahdi.
"Umak rindu kau, Mahdi. Kau pulang paling lama hanya tujuh hari, tidak kah kau rindu suasana yang damai, bersahabat. Sungguh, kadang Umak berpikir sepertinya sebuah kesalahan membiarkanmu kuliah dan mendapat pekerjaan di Jakarta!"
"Sebaiknya kau jangan pulang sebelum menemukan jodoh seperti yang Ayah inginkan..." bisik Umak gemetar, karena Umak pasti antara yakin dan ragu dengan kata katanya. Wajah tuanya yang masih menggambarkan kecantikan gadis Tapanuli Selatan, berahang kuat dengan bola mata coklat yang indah, terlihat bergaris mendung.
"Umak ingat...Amira?" Mahdi begitu saja membuka suara, seakan suara yang sudah hilang ribuan tahun lalu tahu tahu kembali.
Umak mengerutkan kening sekian lama.
"Amira gadis berjilbab suka mengantarkan makanan?"
"Oh!" Umak menutup bibirnya yang terbuka dengan telapak tangan.
            "Gadis Jawa itu?"
"Iya, Mak...teman SMA aku dulu."
 "Ho makkolongi na, Mahdi?”
Mahdi tidak menjawab, tatapannya mengarah dinding kosong di belakang Umak. 17 tahun bukan waktu yang pendek untuk mencintai seseorang tapi bukan waktu yang cukup untuk berjuang menemukan cinta. Lulus SMA Amira kembali ke Yogya, Papa gadis itu hanya tiga tahun tugas di Sipirok. Keajaiban terjadi mereka ternyata satu kampus di Jakarta, 4 tahun mereka bersama lagi lalu terpisah lagi...Amira memilih membantu meneruskan butik Batik Mamanya di Yogya.
"Batik sudah seperti mendarah daging buatku, Di..." katnya berbinar, sinar mata yang serupa ketika Ayah menyebut ulos.
Mahdi yang tidak paham batik hanya mengangguk angguk seolah ia begitu mengagumi lekuk motifnya padahal ia tengah mengagumi si pembicara, lekuk hidung, bibirnya yang indah.
"Kau suka ulos?" suatu kali ia memberani diri bertanya.
Amira sejenak tercenung lalu dengan sedih ia menggeleng, "Belum..."
Belum bukan berartu tidak mau tahu, tapi  Mahdi tidak sampai hati bila tatapan mata Ayah kelak menghujam Amira jika ia keukeuh memilihnya.
"Apakah kamu berharap kita berjumpa lagi,Di?" sebuah kereta ekpres yang keras dan cepat melesat saat Amira usai bertanya dan Mahdi baru saja menjawab…
“Tentu dan selalu, Amira…”
Jawaban yang tertelan gemuruh tubuh kereta.
Amira tersenyum tipis,  dia sungkan untuk meminta ulang apa jawaban laki laki itu.  Dia kawatir mendengar dengan jelas sesuatu yang tidak sesuai harapan. Sebenarnya sebuah kesalahan besar berharap terlalu jauh cinta seorang laki laki  pengecut.
Mahdi pengecut?
Amira tak berani menjawab meski untuk dirinya sendiri, yang jelas dia merasa dicintai laki laki itu tapi selamanya tidak memiliki rasa dimiliki.
Kereta membawa Amira pergi, merenggutnya tanpa meninggalkan bayangan maupun harumnya karena begitu banyak orang berlalu lalang dan berbau asam keringat di peron.
"Bukannya dia  sudah lama   tidak lagi kau temui?" gumam Umak setelah sekian lama menunggu, Mahdi hanya diam.
Selama kuliah di Jakarta aku selalu bersamanya, Mak. Gadis itu benar benar menghilang  12 tahun lalu. Sebenarnya tidak menghilang, Amira ada di Yogya tapi aku tidak memiliki keberanian apabila Ayah menghujamnya dengan sepasang mata tajamnya.                                                                                           ...
"Pak, bukunya jadi dibeli?"
Astaga! Mahdi terlonjak untuk kedua kali, gadis berusia dua puluhan tadi tahu tahu berdiri di depannya dengan tersenyum.
"Dari tadi dipegang doang, kebetulan kata penjaganya judul itu hanya tinggal satu satunya."
Mahdi melotot, baru sadar  sejak tadi, entah berapa lama  dirinya hanya berdiri menatap kaca di belakang rak seraya menggenggam erat buku yang dipilihnya sejak tadi. Apa yang membuat ia sejauh ini?
Seratus Tahun Kesunyian...sebuah buku pemenang nobel karya Gabriel Garcia Marquez. yang lama dicarinya, kebetulan sekali menyelinap seorang diri diantara buku buku lain yang meruyak dengan judul sangat metropop dan digemari remaja sekarang.
Apakah gadis muda itu juga berada dalam kesunyian?
"Jadi dibeli gak, Pak?" si gadis tampak mulai tidak sabaran.
"Eh...Pasti, pasti akan saya beli," jawab Mahdi cepat, tanpa banyak cakap meninggalkan gadis itu menuju kasir.
Ganteng ganteng jutek, si gadis memaki dalam hati.
***
Keluar dari toko buku megah itu, ia memutuskan untuk mampir ke kedai kopi. Malam minggu, masih pukul delapan malam tentu sangat membosankan menghabiskan waktu di dalam kamar kostnya. Ia ingin menikmati kopi dan buku di kedai yang bila malam minggu buka 24jam. Kedai itu tidak jauh dari toko buku yang dikunjunginya.
Lama  Mahdi berdiri di depan meja  panjang, dimana orang sibuk menyebutkan pesanan mereka. Ia suka lopi klasik yang pekat tapi tiba tiba lidahnya rindu Caramel Macchiato...
"Ini yummy banget,  Di. Perpaduan antara espresso dan vanilla yang diatasnya diberi semacam sirup karamel," suara Amira riang.
"Tapi minumnya  gak boleh dengan perut kosong."
"Kenapa, karena gak bikin perut kenyang?"
"Bukan, tapi bisa membuat asam lambung naik.  Apalagi kalau punya maag."
Ehmm..dirinya belum makan sejak siang tadi, begitulah ciri khas kehidupan lelaki belum menikah meski usia sudah matang. Betapa berkeluarga, memiliki pendamping hidup…tepatnya hidup bersama seorang wanita itu sangat berarti. Tapi apalah arti  asam lambung yang meroket dibanding sebuah rindu tak terkendali yang sudah akut?
"Pesan apa, Pak?" sepertinya wanita menor yang masih sangat muda di depannya itu telah mengajukan pertanyaan yang sama berulangkali, namun Mahdi baru menyadarinya. Terlihat itu dari ekpresi wajahnya yang terbalut bedak nan  tebal, ekpresi antara tidak sabar dan terheran heran,mungkin juga nyaris tertawa.
Mahdi tak perduli.
"Caramell Macchiato!"
Mahdi  menoleh  ketika sebuah suara nyaris bersamaan dengan lidahnya menyebut pesanan yang sama. Ia menoleh, pemilik suara itu juga menoleh.
(…)
Mahdi menelusuri wajah disebelahnya yang menatapnya kaget: seorang wanita dewasa, mungkin seusianya atau bisa jadi lebih terlihat dari kerut di sudut matanya, rambutnya lurus melebihi bahu  sangat hitam, wajahnya tirus bahkan menuju kurus yang sangat, matanya  bulat bening dang hidung dan bibir...Amira!
Adakah wajah sebegitu mirip?
Wanita itu membuang wajah, hendak berlalu batal akan pesanannya tapi reflek Mahdi memanggilnya.
"Amira!"suara yang kemudian ia sesali, mengapa ia senekat itu, bukankah gadis yang selama ini dalam bingkai rindunya itu berhijab?
Wanita itu menoleh.
Mahdi gemetar.
Ia melihat segalanya yang selama ini hanya dalam rekaan: rambut, leher jenjang, lengan langsat dan betis yang bercahaya.
Lalu tahu tahu keduanya duduk dalam satu meja berhadapan sepasang Caramel Macchiato.
"Aku belum menikah..." dengan riang Mahdi membuka suara, entah harapan apa yang tengah ia buka dan ingin raih. Rasanya saat ini mata Ayah pun berani ia tentang, ia baru sadar rasa kehilangan dan sejuta kerinduan itu mahal sekali.
“Lalu kenapa dengan belum menikah?" kata  Amira, suaranya lemah dan sedikit menyimpan amarah.
Wanita itu sungguh, walau usia merenggut bagian wajah yang pernah Mahdi ingat begitu bercahaya tetap menghadirkan getar yang indah. Andai, ia mengambil wanita itu sebelum kereta ekpress merenggutnya, mereka pasti sudah membelah diri. Sudah seusia apa anak anak  mereka? 
"Masihkan kau membuka kesempatan buatku Amira, dan aku ingin kau Amira yang dulu lagi..."
"Berjilbab?" cibirAmira, matanya seakan menyaingi mata Ayah. Begitu menghujam.
Mahdi menyebut Asma Allah, ada apa dengan gadis ini?
"Kau tidak pernah melihat kesempatan yang selalu aku buka, Di..."
Mahdi terdiam, mati kutu.
"Hanya karena Ayahmu menyukai gadis yang mencintai ulos..."
Mahdi terperanjat, tahu dari siapakah Amira?
"Aku gadis yang mencintai batik, Mahdi..."
"Aku tidak perduli, aku akan meminangmu..."
Amira tertawa keras hingga beberapa pengunjung menoleh dan Mahdi tertunduk sungkan. Kenapa Amira tidak terkejut atau bahagia? Bukankah pasti ucapan ini dinanti nanti gadis itu puluhan tahun, seharusnya…
"Aku seorang janda, Di..." suara Amira pelan, nyaris tak tertangkap telinga.
Mahdi melotot, nanar dan tak tahu harus bersikap maupun berkata apa atas pengakuan Amira barusan. Ya… seusia mereka, terlebih seorang wanita memang sepantasnya sudah menikah, mungkin anak anak mereka sudah pandai mengayuh sepeda atau menendang bola.
"Aku janda beranak dua..."
"Aku...aku tidak perduli," kata Mahdi sedikit gagap. Sejenak terbayang cahaya mata Ayah...ah,hidup di depannya bukan milik Ayah tapi miliknya. Hanya ia yang bisa menyelamatkan cintanya.
Tawa Amira yang kedua lebih keras dan sukses membuat beberapa pengunjung menggunjing mereka. Terlihat dari kilatan mata dan bibir mereka yang kasak kusuk.
"Tapi sekarang aku tidak membuka peluang kedua buatmu, Di..."
Mahdi terhenyak dengan ucapan Amira inim "Maksudmu?"
"Aku tidak pernah membuka peluang kedua bagi laki laki yang telah menghancurkan  aku..."
Mahdi terlongo, menatap seluruh wajah Amira yang polos dan masih tetap demikian cantik.
"Kau biarkan aku dibawa kereta senja itu, hingga aku dinikahi laki laki lain. Laki laki yang membuat aku jadi seorang janda beranak dua, aku harus menghidupi anak anak sementara usaha batik orangtuaku bangkrut. Aku melamar kesana kemari terkalahkan oleh yang muda muda dan single, akhirnya aku mendapat pekerjaan yang tidak memperbolehkan berhijab...aku harus menolak?" suara Amira bagai deru kereta ekpress, cepat dan bergemuruh.
Mahdi merasakan tubuhnya menggigil.
"Aku menolak hingga puluhan kali, tapi anak anakku butuh kehidupan, aku ibunya...maka aku jadi seperti yang kau lihat. Dengan semua ini kau masih berharap menjadi pria baik dalam hidupku???
Mahdi merasakan tubuhnya membelah diantara ada dan tiada. Asam lambung yang naik mengaburkan matanya.
"Lagi pula sampai detik ini aku belum mencintai ulos karena kau tidak pernah mengajarkan aku cara mencintainya. Kau lelaki bodoh dan pengecut, Mahdi..."
Mahdi tenggelam diantara halusinasi, jemarinya gemetar masih mampu membuka lembar buku yang dipegangnya sejak dari toko buku, ia begitu ingin mengucapkan ini: Apakah kau percaya bahwa nasib baik masih dicurahkan kepada kita5?"
Dilihatnya bangku di depannya kosong, hanya tersisa secangkir Caramel Macchiato yang masih utuh dan sudah dingin tanpa tersentuh. Dialihkan matanya ke seluruh penjuru dengan kalap…dari balik kaca, di luar sana ia lihat seorang wanita yang tadi nyaris digapainya tengah tertawa lepas namun parau, memeluk seorang gadis kecil bergaun pink dan lelaki kecil yang memegang mobil mobilan.





Note:
* Dalam Bahasa Tapanuli Selatan
1 Kau penerus Ayah
2 Mama
3 Ayah kira dia sangat pas untuk jadi istrimu
4 Aku tidak mau menantuku seorang wanita yang tidak mencintai Ulos

5 Seratus Tahun Kesunyian- Novel pemenang nobel karya Gabriel Garcia Marquez.

2 comments:

  1. keren banget cerpennya.
    jadi keikut suasana nih.

    aku juga baru buat cerpen nih. mampir ke blog ku ya

    ReplyDelete