Berbekal Tekad Menuju Baduy.

by - February 21, 2012

Mengulas perkampungan serta orang-orang Baduy memang bukan hal baru lagi, karena selain Bulletin Wanadri sendiri pernah membahasnya, di media cetak lain pun sudah sering ditulis. sehingga perkampungan dan suku Baduy yang terbelakang sudah tidak asing lagi buat kita, terlebih orang-orang Baduy tak jarang saba kota untuk menjajakan madu, barang kerajinan tangan, dll. Tapi kenapa saya menulisnya kembali di bulletin Wanadri? Tak lebih karena ingin membagi pelajaran buat pembaca yang “mengadakan perjalanan hanya berbekal tekad”.

Perjalanan ke Baduy yang saya lakukan bersama Dina, Nisa dan Rakay beberapa bulan lalu dengan mengambil jadwal libur 3 hari, memang lebih besar berdasarkan tekad ketimbang pengetahuan tentang Baduy. Bahkan rute perjalanan ke Baduy yang dimiliki saya dan Rakay semmpat membuat kami ribut, sebab rute Beos- Rangkas Bitung dilanjutkan naik angkot ke Ciboleger, saya dapatkan langsung dari orang baduy yang pernah saya jumpai di Mapala Universitas Pancasila (CICERA), sementara yang dimiliki Rakay dia dapatkan dari seorang rekan pencinta alam, jadi kami saling bersikeras.

Namun kekalahan berada dipihak saya, jadilah kami yang sudah nongkrong di stasiun Pasar Minggu pukul 10 pagi cabut menuju Kampung Rambutan untuk naik bus ke Serang dengan ongkos Rp.15.000/ orang, sampai serang dilanjutkan naik angkot lagi (saya lupa nama daerahnya) Rakay sempat marah-marah ketika saya bayar Rp.8.000/ orang. Menurut ia seharusnya Rp.7.000/ orang, siapa suruh tidak memberitahu sebelumnya dan tidur diangkot!

Kemudian naik ojek lagi ke Gunung Mas Rp. 5.000/ orang. Diam-diam saya tak habis pikir denga rute yang dimiliki Rakay, karena kata seorang teman untuk oneway ke Baduy melalui rute Beoas-Rangkas-Ciboleger tak sampai dua puluh ribu perak! Tapi pikiran itu segera tertepis setelah turun dari ojek, perjalanan tinggal ditempuh jalan kaki lagi nich, pikir saya. Sebab dari berbagai keterangan perjalanan ke Baduy tidak ada yang langsung ditempuh dengan kendaraan.

Tapi alangkah terkejutnya kami begitu ditertawakan abang-abang ojek saat ditanya tujuan yang sebenarnya. “Ke Baduy jalan kaki dari sini, Neng? Ditempuh pakai ojek saja 2 jam! Kalo lewat Rangkas naik angkot ke Ciboleger baru dekat, paling jalan 2-3 jam. Eneng kan sekarang lewat Baduy belakang dari Cijahe.”

Kami langsung lemas mengetahui, terlebih mereka menawarkan ojek ke Cijahe Rp.50.000 / orang, setelah perang mulut hampir 15 menit baru turun Rp.25. 000/ orang, membuat kami tidak memiliki pilihan lain karena hari mulai sore. Jika tidak mengingat semua letih, saya sudah mau memaki Rakay yang tertunduk oleh perasaan bersalah. r ute yang dia miliki dari anak pencinta alam mana sich?

**

Sehabis terguncang-guncang sekian lama diatas motor, sampai motor yang ditumpangi Nisa sempat terbalik karena jalannya sangat terjal, nyaris tak dapat dilalui kendaraan bermotor sekalipun. Alhamdulillah, tidak luka, hanya celana Abang ojeknya robek dilutut. Maka sampailah kami di Cijahe yang merupakan pintu masuk ke Baduy Luar, Cisadane. Setelah menyeberang sungai kecil, kami sempat celingak-celinguk. Beruntung kemudian bertemu seorang pemuda baduy, Isman, putra kepala suku Cisadane yang mengantar ke Cisadane dan menjamu kami dengan minum air putih plus gula aren. Berdasarkan keterangan dia, kami memutuskan untuk bermalam di Baduy Dalam, Cikesik, mengingat waktu sangat sempit. dan berjanji untuk bermalam di Cisadane esoknya sebelum balik ke Jakarta.

Lantas melalui seorang bapak yang kami temui di perbatasan Baduy Luar, dengan penampilan seperti kami (tidak mengenakan atribut/pakaian khas Baduy) kami dapat masuk Cikesik dan diterima kepala desa mereka yang lajim dipanggil jaro Alim. Sayang sekali, kami lupa menanyakan nama dan siapa bapak tersebut karena terlalu lelah dan sibuk dengan Jaro Alim. Ketika itu hari telah gelap, namun kami disambut lebih meriah dengan makan bersama. Sunggung mengharukan atas suguhan super mie yang merupakan barang mewah mengingat jarak tempuh untuk membelinya, juga membuat kami terheran-heran barang modern itu bisa menyentuh Baduy.

Selesai makan ada kejadian lucu, yaitu waktu kepala desa menawarkan untuk jiarah ke poon (Pu’un-red). kami orang muslim, musrik jiarah ke pohon-pohon, pikir saya. Tapi sebelum menolak saya tanya “Ke pohon asem apa beringin, Pak?” dengan pengertian bahasa Sunda sedikit-sedikit akhirnya kami mengerti kalau poon itu adalah tetua kampung tertinggi diatas jaro….. hehehehe!

Semula kami sudah membuat rencana untuk mendirikan tenda di tepi sungai yang menjadi perbatasan Baduy Luar dan dalam (seperti yang kami khayalkan dari Jakarta), tapi ternyata tidak diijinkan. Untuk menghargai tuan rumah, akhirnya dengan diterangi lampu minyak kecil kami tidur di rumah jaro Alim, dan terbangun berkali-kali oleh suara musik yang mendayu-dayu, serta suara gesekan seperti oarng mengasah benda tajam. dalam otak saya, Dina, dan Nisa adalah bayangan manusia-manusia kanibal…Tapi sampai pagi kami aman-aman saja, bahkan merasa bersalah berpikiran buruk ditengah penduduk yang notabene lugu-lugu. Oya, suara musik itu ternyata berasal dari pesta upacara pemanggilan Dewi Sri dalam menyambut musim panen, agar panen mereka kelak melimpah. sayangnya, pamali untuk disaksikan orang luar.

Paginya selesai sarapan, kami memutuskan untuk ikut ke ladang mereka dengan menempuh perjalanan turun naik bukit yang dipenuhi pemandangan bunga-bunga ungu (entah apa, namanya), juga melalui lumbung-lumbung padi yang dibuat sedemikian rupa. (lihat foto).

Sampai tujuan, tampaknya mereka belum menanam, baru akan memutuskan untuk menentukan tempat berladang. Disana jelas terlihat kegotong-royongan yang patut ditiru, bagaimana kaum laki-lakinya sibuk berdiskusi ditanah lapang yang mungkin akan dijadikan ladang, sementara wanita dan anak-anak menyiapkan nasi liwet berlauk ikan asin bakar disebuah gubuk-gubukan untuk peristirahatah kaum petani.

Lagi-lagi karena mengejar waktu akhirnya tanpa menyaksikan mereka bersantap kami pamitan pergi, saat sampai desa untuk mengambil barang-barang yang tadi pagi kami titipkan, suasana yang sepi menimbulkan keinginan untuk memfoto, walau sudah diwanti-wanti terlarang memfoto. Tampaknya bbenar yang dikatakan orang Baduy, mereka takut dunia modern seperti sekolah karena kepintaran dapat membuat manusia menjadi licik…

Selama perjalanan ke Cisadane, kami sempat mandi-mandi dulu di sungai plus gosok gigi, meski tanpa sabun dan odol setelah sejak kemarin tidak tersentuh air. juga istirahat sambil menikmati perbekalan dan menyaksikan anak-anak Baduy bermain memanjat pohon, berenang di kali, main kitiran dari daun pohon nira yang kering hingga menimbulkan suara-suara menderu.

Hingga siang baru sampai Cisadane, rupanya nanti malam akan diadakan pesta penyambutan Dewi Sri sama seperti di Cikesik, tapi boleh disaksikan orang luar, tentu sangat menarikmengingat kegiatan macam ini tidak sewaktu-waktu ada, kecuali pada musim tanam. Upacara itu diadakan di tanah agak lapang dengan diterangi bulan dan beberapa obor kecil menjadikan suasana remang-remang sekali. Laki-laki tua dan muda membentuk lingkaran, berputar perlahan dengan gerakan seperti orang menari sambil bernyanyi dalam bahasa sunda yang tidak kami mengerti.

Mereka memainkan musik sama seperti milik orang Baduy Dalam, hanya ditingkahi nyanyian. Namun yang disayangkan saat menonton pesta rakyat yang cukup menarik itu, diam-diam otak kami dipenuhi tanya soal kepulangan besok, kendaraan apa? Ongkos berapa? Sebab uang yang kami bawa masing-masing ngepas, pengeluaran keberangkatan kemarin dua kali lipat dari perkiraan.

Untung, Isman dapat memberikan petunjuk karena dia sering ke Jakarta (Unutk Baduy Luar diperbolehkan naik mobil). Tapi kami musti menempuh perjalanan cukup jauh untuk mencapai ojek yang membawa kepangkalan angkot Rangkas di Parigi, ditambah angkot tersebut hanya ada satu kali sehari, pagi-pagi pula.karena kepulangan tidak dapat ditunda, sebab jatah libur sudah habis. Alhasil kami harus bangun pagi, makanya dengan berat hati kami meninggalkan pesta yang masih berjalan untuk ngorok dirumah Isman (Rencana mendirikan tenda gagal lagi, mengingat besok pagi harus buru-buru).

Keesokannya dengan terkantuk-kantuk kami bangun pagi-pagi untuk menempuh Perjalanan pulang yang lumayan berat. Selain jauh, naik-turun, jadi licin gara-gara hujan turun rintik-rintik. Diam-diam Rakay merasa paling sial dengan beban carrielnya yang berisi tenda cukup berat plus peralatan camp lainnya, yang tidak digunakan sama sekali. Sudah begitu, berapa kali kami terpaksa berhenti untuk membetulkan sandal Dina yang putus, untung bawa peralatan jahit, dan beruntung lagi angkot ke Rangkas masih terkejar, Alhamdulillah.

Ketika sudah didalam angkot menuju Rangkas, kami sama-sama menyadari bahwa perjalanan yang tanpa direncanakan matang dan Cuma modal tekad cukup merepotkan, juga mengurangi unsure happy dalam menikmati perjalanan itu sendiri. Dan seperti yang dibilang teman saya, ongkos pulang sampai Jakarta dengan rute yang benar tidak sampai dua puluh lima ribu perak!.

Buat Dina, Nisa, Rakay, dan Sisil (yang tidak jadi ikut)

Dimuat di Buletin Wanadri Edisi No. 17 Februari-Maret 2003
























You May Also Like

1 komentar

  1. sip...oke akan kunjung balik segera:)
    nantikan ya buku traveler saya...Insaallah segera terhidang,aamiin
    makasih untuk kunjungannya

    ReplyDelete