Seberapa Siap Kita Memiliki Anak

by - November 14, 2015



Sebenarnya, pertanyaan 'Seberapa Siap Kita Punya Anak', sering  menggoda. Menggoda, setiap saya mendapat berbagai undangan dari dunia kepenulisan, penerbitan, blogger, dan memandang bayi kecil saya: Sepertinya, saya harus bersabar untuk mengendapkan eksistensi diri. Fokus sementara pada si kecil, dan terabaikanlah semua undangan tersebut.

Ehmmm, berbeda sekali dengan saya dulu. Membawa bayi-bayi saya, atau sesekali menitipkannya pada Ibu, tidak jarang ke suami jika acara atau undangan tersebut dekat. ASI? Tidak masalah, saya bisa mempompanya. Saya bisa ngacir kemana saja saya suka.

Saat ini, setelah anak saya 4 (1 alm ketika usia 5 bulan). Entah, kenapa saya bisa mengendapkan semua keinginan pribadi, eksistensi diri. Mungkin tepatnya, bersabar atas itu semua. Apakah setelah punya anak 4 saya baru siap memiliki anak?



Siapkah Saya Memiliki Anak???

Rindu Kumpul-Kumpul
Tidak juga saya bisa menjawabnya. Sebab...kadang, saya juga punya batas kesabaran. Saya ingin mengembangkan dunia kepenulisan, saya ingin belajar ngeblog, dsb. Tapi, ketika anak sakit, anak ingin ditemani main, anak ingin ngobrol, anak menarik saya ke dunianya....saya berhenti pada mereka. Saya lupa dengan dunia saya.

Hasilnya...dua tahun karya saya tidak ada yang lahir. Hampir dua tahun saya di rumah fokus pada anak-anak, bahkan satu-dua teman diskusi kepenulisan mental dalam hidup saya. Saya jadi banyak berteman dengan ibu-ibu kiri-kanan yang punya bayi.


Saya dan Karya
Yang membuat saya tertawa terpingkal-pingkal, adalah ketika mereka kemudian berseru: Mba Eni, ternyata penulis ya?

Ketika hal itu saya bicara dengan patner hidup saya, jawabnya begitu sederhana: Tidak akan memakan separuh hidupmu untuk intens 100% bersama anak-anak.  Mungkin, hanya butuh waktu 5 tahun, setelah itu kamu bisa longgar dengan semua mimpimu.

Anak-Anak Tumbuh Dengan Cepat
Ya, ya, itu saya rasakan. Ketika Lintang, Pijar tumbuh...ketika usia mereka  menginjak 5 tahun, 6 tahun, 7 tahun..dst. Mereka tidak seintens ketika bayi-balita.

Lalu?

Lalu pertanyaan itu jadi perenungan panjang, ketika suatu sore di teras rumah, saya duduk sambil menyuapin MPasi buat baby Pendar. Menyaksikan sedikit aktifitas daycare yang terletak persis di samping rumah. Akifitas dari para ortu yang datang mengedrop anak-anak mereka, ibu daycare yang berkutat dengan anak-anak, anak-anak yang berkumpul di halaman rumah, dan percakapan-percakapan mereka. Semua masuk kuping saya, dan itu berlangsung berhari-hari.

Potongan-potongan yang tertangkap oleh saya:
Tangis anak-anak usia 2-6tahun ketika pertama kali masuk daycare...Bundaaaa, Bundaaaaa, aku ikut Bundaaaa. 
Suara ibu daycare yang menenangkan.
Jeritan anak-anak yang senang ketika tiba waktunya djemput orangtua mereka, biasa mereka dititipan dari pukul 7 pagi hingga habis magrib, atau kadang pukul setengah tujuh pagi hingga sebelum magrib.
Ini Ayah Abang, Ayah Abang...!
Suara-suara anak yang bangga karena akhirnya bertemu orangtua mereka. Cahaya mata mereka yang bersinar menyambut sang penjemput. 

Juga kasak kusuk ibu daycare yang menerima titipan anak tidak bisa diam, tukang ngompol&susah toilet training, sementara orangtua anak tsb tidak mengijinkan si anak pakai diapers. Berkali-kali saya lihat ibu daycare mencuci alas tidur yang berupa puzzle-puzzle empuk cuci-kering. Duh!
Orangtua yang menitipkan anak-anaknya semuanya karena si ibu sedang hamil muda, mabuk. Sementara dua anak yang dititipan masih usia 3th dan 1.6th. si 1.6tahun ini sering nangis meski akhirnya mulai beradaptasi.
Ada lagi ibu 5 anak, yang menitipkan 2 anaknya karena bekerja, atau seorang ibu yang menitipkan anaknya sepanjang hari karena si ibu ikut seminar ini itu. dsb

"Kalau anak-anaknya semuanya dititip daycare, mungkin sebaiknya si Ibu jangan hamil terus. Kasian," ini kalimat yang sempat saya dengar.
"Saya senang hamil, makanya anak 3 jaraknya dekat-dekat." Ini juga saya dengar

Ah, ah...saya tidak bisa memberi pendapat apa-apa, karena bukan kapasitas saya. Sebab, saya juga tidak tahu jika saya berada diposisi  mereka: Bekerja atau banyak anak dengan jarak dekat, atau banyak acara seminar, talkshow, kunjungan ini itu, kegiatan sosial a-b-c, dst.



Tapi, saat ini saya bisa berdamai dengan eksistensi diri dengan memandang anak-anak. Mereka akan tumbuh dengan pesat, dan mimpi-mimpi saya akan berjalan sesuai tahapnya. Apakah berarti saat ini, setelah menjadi ibu 4 anak (1 alm), saya sudah siap memiliki anak?
Bisa jadi, tapi...saya masih belajar panjang untuk menuju itu. Bagaimana anda?





You May Also Like

3 komentar

  1. Kereen uyy mbak Eni,...
    sukses ya mbak say ^_^

    ReplyDelete
  2. Aku ngerasanya gitu juga mbak.... Lebih going with the flow ajalah sekarang, apa karena pengaruh umur ya? Soalnya kan pas 2 anak sebelumnya masih di umur awal 30 an, lagi menggebu gebunya kerja, mencari karier jadi banyak banget kena "flu ART" hahaha...
    Sekarang sih masih menimbang nimbang, rasanya udah maleeeess banget hustle and bustle krn urusan asisten rt atau pengasuh anak plus udah ke enakan ngga ada mbak yg nginep di rumah. Cm ya itu, nanti kalo udah jalanin dan berasa juga mungkin berubah lagi niihhhh... Masih plin plan

    ReplyDelete