Puasa Menahan Lapar Tapi Sulit Menahan Nafsu

by - June 06, 2016


Alhamdullilah ramadahan pertama sudah terlewati dengan sukses, meski sukses di sini bukan sukses berpuasa tapi sukses menyediakan menu keluarga secara sederhana: Bening bayam-labu baby-wortel, telur balado dan kolak manis. Kenapa bukan sukses berpuasa, karena saya masih menunggu masa-masa haid berakhir untuk bulan ini. Insaallah besok sudah bisa berpuasa meski masih menyusui  Pendar (18m), Pendar ini walau makannya bagus, plus doping susu juga tapi ASI luar biasa kuat.  Eh kok jadi curhat Pendar heheheh

Kembali ke topik soal ramadhan ya, sama gak sih yang saya alami juga dialami semua moms di sini? Kehabisan bahan masak saat berbelanja atau antri beli makanan-camilan-minuman karena heboh ramadhan. Gak percaya? Tapi ini saya alami dimana-mana loh, dulu waktu masih ikut orangtua sampai saya menikah tinggal di Jakarta Selatan dan sekarang di Depok, sama.

Saya masih ingat betul, dulu saat belum menikah dan masih berpuasa di rumah orangtua ketika membeli es kelapa harus dimulai dari pukul empat sore, kalau tidak antriiiii...selain capek berdiri-seringnya kehabisan. Lalu saat tinggal di Jakarta Selatan, tepatnya wilayah Jagakarsa betapa kalau belanja ke tukang sayur telat sedikit..ludesss.

Dan kini saat tinggal di Depok hal serupa saya alami, tidak hanya kehabisan di tukang sayur yang biasa lewat depan rumah, atau kehabisan camilan tempe mendoa di pinggir jalan yang buka sore dan tutup jam delapan malam, tapi kehabisan di..mini market!

Jadi kemarin karena hari pertama sahur, kami mau beli persediaan bahan makanan yang bisa simpel diolah saat sahur. Karena di kulkas masih kosong, kami berencana ke mini market yang tidak jauh dari rumah untuk membeli ayam. Ayam simpel banget kan, diungkep-simpan kulkas-begitu butuh tinggal goreng. Selain ayam, mau beli sayuran yang gampang diolah: kangkung atau bayam, plus camilan cireng.

Pagi-pagi tetangga sudah ngajak ke  mini market, tapi saya memilih untuk berbelanja sore sekalian bawa Pendar jalan sore dan teryata....trantam! Sekitar dua jam kemudian tetangga balik: “Bu Eni, untung gak kesana. Antriiii, habis-habisan sampai telur, ayam, gak kebagian.”

Tetangga itu melapor sambil menggendong batitanya yang tampak keruwel. Rupanya kondisi mini market yang biasanya nyaman berubah menjadi pasar tradisional yang padat. Kondisi ini mirip dengan ramdhan tahun lalu, kebetulan saya di Depok sudah melewati dua ramadhan.

Alhamdullilah, tadi gak jadi ke mini market itu. Ramadhan tahun lalu baru saya ingat kembali, saat mau membeli stock sahur. Lorong-lorong mini market berjejal pembeli, barisan ayam-daging dipenuhi ibu-ibu antri, bagian sayur mayur tinggal sisa-sisa bahkan mau beli cabe pun sudah habis.

Akhirnya sahur ramadhan pertama saya cuma beli 1kg telur di agen telur dekat rumah yang tersedia berbak-bak besar aneka telur. Besok paginya saya belanja seperti biasa, menunggu tukang sayur lewat depan rumah. Rencana hari ini untuk berbuka masak sayur bening, bakwan jagung, tempe dikecapin dan telur balado, camilannya kolak lengkap-buat sahurnya yam ungkep. Tapiiii...jagung habis, isi kolak cuma ada kolang kaling-labu parang, tempe,ayam habis.

“Tumben, Tut, serba habis?”
“Iya, Bu, puasa apa aja laku,” kata tukang sayur bernama Tuti yang berusia masih belia. Namun rautnya dimakan matahari sehingga terlihat lebih tua dari usianya. Ramadhan tahun lalu Tuti masih bondolan, sekarang cukup manis dengan jilbab pink.

Karena masakan yang direncanakan buyar, jadi seadanya yaitu menu sederhana yang saya sebutkan di awal tulisan sementara suami sepertinya mupeng gorengan. Kelilinglah pukul 5 sore mencari gorengan, hasilnya... HABIS!

Ampun, padahal biasanya tukang gorengan berbaris di jalan menunggu pembeli dengan bertumpuk-tumpuk gorengan yang kadang sudah tidak panas lagi. Inilah fenomena ramadhan!
“Nafsu lapar itu seperti raksasa, ketika perut belum terisi semua yang dilihat ingin dilahap, itu nafsu. Padahal ketika sudah sedikit saja kenyang, yang lezat pun terasa biasa...” itu ucapan Bapak saya dulu, ketika saya masih kecil.

Pada kenyataannya memang begitu, setiap bulan ramadhan seolah ada fenomena: Apa yang dijual pasti laku asal bisa dimakan. Tidak percaya? Saya mengalami berapa kali membeli lauk di pinggir jalan atau jajanan dadakan yang kalau ramadhan datang berbaris menyemut di sepanjang jalan. Jalan yang kalau bukan ramadhan sepi-sepi saja, antri yang beli..rasanya? Sukses bikin kapok-pok. Tapi tadi saat belinya antriiiiiiii.

Jadi?

Ya, jadi seperti ucapan yang pernah Bapak saya katakan berpuluh tahun lalu..NAFSU LAPAR ITU SEPERTI RAKSASA. Kita bisa menjadi manusia yang rakus, boros, dan serakah. Membeli apa saja yang terlihat oleh mata, padahal apa tujuan berpuasa?

Puasa adalah untuk membentuk pribadi Muslim yang bertakwa kepada Allah. Yakni, mengerjakan semua perintah Allah, dan menjauhi semua yang dilarang Allah (surah Al-Baqarah [2]: 183)

Mungkin, saya berandai-andai jika berpuasa kita tetap seperti sehari-hari ketika mengolah menu, membeli sesuatu untuk dimakan, bisa jadi fenomena HARGA NAIK di bulan ramadhan tidak ada. Coba, walau harga naik kalau pembelitnya standart saja, apakah harga akan bertahan naik?

Tukang sayur yang sehari-sehari sebelum ramadhan dengan harga standart dagangannya bersisa-sisa, tapi begitu ramadhan dengan harga selangit-perbandingan ayam yang biasanya Rp.40.000.- jadi Rp50.000.- , kok malah ludes-laris???

Tapi memang kita boleh saja membuat menu yang lebih istimewa di saat bulan ramadhan, seperti kolak yang biasanya tidak ada di meja makan, jadi ada. Selain kolak menjadi hidangan yang ‘mendadak’ ada fungsinya jelas, menu yang manis memang dianjurkan saat berbuka untuk menambah tenaga, apalagi dihidangkan hangat-hangat sebagai pembuka hidangan awal.

Tapi (tapi lagi  nih) jangan juga lantas jadi memaksakan diri mengadakan yang tidak ada atau bermewah-mewah karena nafsu lapar yang mempengaruhi. Seperti percakapan ibu-anak yang pernah saya dengar di sebuah angkot:
  • Anak: Ibu nanti bukanya masak kolak ya
  • Ibu: Nanti kalau Ibu ada uang lebih, yang pentig beli lauk dulu.
Percakapan sederhana saja, tapi ternyata tidak sederhana buat keduanya, juga saya yang mendengarnya. Berapa sih harga kolak? Kalau beli di pinggir-pinggir jalan seplastik Rp.5000.-  yang kalau diukur banyaknya, pas semangkok. Buat satu keluarga cuma sekedar icip-icip. Kalau buat sendiri?

Tadi pagi saya belanja bahan-bahan kolak yang cuma tinggal sisa di tukang sayur:
  • Kolang kaling Rp4000.-
  • Labu parang Rp.7000.- (sepotong tidak terlalu besar)
  • Kelapa Rp.6000.- (satu butir tapi hanya saya pakai sebelah, karena saya tidak suka santan kelapa instan)
  • Gula merah Rp.4000.-
Total jenderal Rp.21.000.-, untuk sekali makan 6 orang. Mungkin buat keluarga dengan penghasilan baik, RP21.000.- kecil tapi buat keluarga yang penghasilan sehari Rp.50.000 , kolak bisa  menjadi barang istimewa hanya sekedar buat camilan. Rasanya kalau kita terlalu berlebihan di bulan ramadhan yang mana juga tujuannya merasakan laparnya fakir miskin, ini sangat tidak pas. Kita hanya berlapar-lapar sehari, lalu berfoya-foya begitu  buka.

Moga, kita tidak menjadi golongan yang berpuasa dan berbuka dengan nafsu, aamiin

You May Also Like

2 komentar

  1. wehhee... emang seringkali kudu hati2 klo brbuka puasa.
    jgn2 hanya balas dendam krna seharian ga makan, jadinya buka sama sahurnya hura2 hhee
    nice share mba Eni ^_^

    ReplyDelete
  2. Khoirur Rohmah:memang godaan banget makanan enak ya hehehe

    ReplyDelete