Malam 27 Ramadhan

by - July 01, 2016

Alm Gibran
Membutuhkan waktu yang lama buat bisa menulis apa yang saya rasakan karena kehilangan putra ke tiga, setidaknya setiap akan menulisnya sedikit panjang...jemari ini seakan tertarik. Aksara dan jemari seperti dua kutub magnet yang sama saling bertemu dan berbalik arah, sekuat apapun ingin saling mendekatkan agar berbentuk rangkaian kata.

Konon alam akan memproses luka atau kesedihan sejalan dengan waktu yang membuat lupa, tapi bagi seorang ibu seperti saya...seakan alam pun menyerah meletakkan penghapusnya dan mengikhlaskan saya untuk menyimpan ‘ingatan’ sebagai salah satu harta terbesar dari kehilangan. Rabb... tolong  jangan katakan saya belum ikhlas, saya hanya rindu dan itu manusiawi, bukan?
Tolong beri jawaban, iya manusiawi karena kesempurnaan hanya milikMu.

Dan malam ini, Ramadhan ke 27..

Di kala langit menyepi, bahkan angin ngeri bersuara dan bintang berpendar lebih dari biasanya. Cahayanya memijar hingga mencapai bumi..langit penuh bintang yang syahdu.
Dan perahu ingatan berlayar lepas menuju samudera kenangan pada 4 tahun lalu, ketika pada waktu yang terhitung sama-saat dia masih dalam pelukanku. Aku bahkan mengingatnya bagaimana suhu tubuhnya melebihi api di tungku, panas. Hingga aku merebahkan dalam dada telanjangku...beribu doa kupanjatkan tanpa aku pahami artinya-maknanya..aku tidak paham. Aku hanya meracau antara sadar dan tidak sadar. Yang  terpenting aku merasa begitu dekat denganNya hingga yakin doa-doaku terpahami olehNya: Beri yang terbaik baginya-bagiku...

Hingga dini hari aku terjaga, suhu tubuhmu menghilang..kau tergulir di sampingku. Matamu terpejam, bibir mungilmu terkantup, jejemari mungilmu terkulai. Aku meraihmu, meraba semua milikmu, menyakini bahwa kau masih ada-baik baik saja, ini adalah mimpi semua ibu yang terjaga dari sedih. Bahwa yang nyata ingin menjadi tidak nyata.

Ramadhan ke 27 '2012

Dini hari itu... (aku mulai merasa menulis ini dengan tidak beraturan, kosa-kata hanya yang terasa ada di kepala, alur bergelombang sesuai tarikan napasku, aku ingin berhenti...tapi aku yakin aku bisa. Lihatlah aku-saya...)

Siang itu ...


Kulihat matanya terbuka tapi tiada isyarat bahwa dia tahu ini aku, ibunya. Mata itu ada tapi tiada, mata itu seperti lembah sunyi...kusentuh dan buka, aku tahu...dia sudah pergi.

Bibirnya, aku terhenyak. Hitam, bukan memerah seperti biasanya. Aku meraba kelopak bibirnya, beku. Aku marah oleh warna hitam itu-menggigil pada takdir siang itu.

Pipinya, aku membelai..Rabb, masih hangat. Hangat sekali tapi saat kukecup erat..kosong, tidak ada suara gemericik darah mengalir dengan lembut. Tidak ada dan lambat laun...semua menjadi dingin. Aku mencoba percaya, aku sedang dalam takdir kehilangan.

Malam ke 28 Ramadhan...

Dengan dada sakit oleh segunung ASI yang membeku, ibu tertidur memeluk bajumu, baju terakhir yang penuh aromamu, baumu.

Berhari-hari, berbulan bibir ini hanya mengeluarkan suara: Astagfirullah, Anakku Gibran..Ya Allah... (sambil menciumi bajumu yang Ibu simpan dalam almari, jauh tersembunyi di sudut agar tidak terenggut- bertahun-tahun kemudian baru baju itu Ibu cuci). Ternyata baru saya pahami arti kehilangan... hilang, tidak ada dan rindu yang panjang.

Ya Rabb, ini sekedar sebuah ingatan-rindu yang manusiawi. Sebab aku menyadari, ini adalah jawabanMU atas doaku: yang terbaik bagi dia dan bagiku, yaitu kepergiannya. Dan ketika aku marah pada anak-anakku Lintang-Pijar-Pendar...maka aku akan selalu ingat: Jika dia masih ada di sampingku, aku pasti akan pernah marah dan mengeluh. Tidak seperti kasihMu padanya saat ini, terlalu sempurnah hingga aku tiada memiliki hak untuk menangisi sebuah kepergian...kecuali sekedar rindu.
Itu saja



Ramadhan ke 27, 1 Juli 2016

(Dan setelah 4 tahun aku baru bisa menuliskan sedikit lengkap perasaan ini di blog)

You May Also Like

6 komentar

  1. Saya nangis baca ini mbak Eni. Entah saya harus komen apa. Tapi saya membayangkan andai saja itu saya. Ah...saya tidak yakin akan sanggup tegar andai buah hati kita dipanggil oleh-Nya...

    ReplyDelete
  2. Insyaallah Gibran menanti di pintu surga ya, Mbak Eni... aamiin

    ReplyDelete
  3. sing sabar ya mbak Eni, huhu aku sedih bacanya, berasa banget, insyaa Allah semua ujian akan tergantikan dan dedek manis sudah menunggu mu di surga mbak

    ReplyDelete
  4. evrinasp: Aamiin, terima kasih mba Evri

    ReplyDelete
  5. April Hamsa: Aamiin, terima kasih mba April

    ReplyDelete
  6. Isnaini S Ibiz: Insaallah, Mba, setiap manusia diberi kemampuan melewati yang tersulit-hanya butuh waktu untuk mampu ya...aku jg masih banyak belajar

    ReplyDelete