Duniaeni Blogger

linkedin facebook twitter pinterest instagram youtube
  • Home
  • About
  • Recognition
  • Disclosure
  • Contact
  • Log

 


“Anjani mau tinggal bersama Bu Guru Sekar, kan?”

Anjani mengangguk, kemudian memeluk pinggang wanita yang dipanggil Bu Guru Sekar itu. Pelukannya begitu erat.

Setelah dijanjikan akan mendapat hidup yang lebih layak dengan makan yang lebih baik, pakaian yang lebih bagus, dan tentu dapat duduk di bangku sekolah lagi. Anjani, gadis kecil berusia 10 tahun dengan rambut sebahu, dan poni yang mirip tirai jendela, mau  mengikuti Bu Guru Sekar tinggal di rumahnya.

Bu Guru Sekar memiliki putri, namanya Cahaya, Cahaya anak tunggal. Kata Bu Guru Sekar, Anjani akan menjadi saudara Cahaya, keduanya akan disekolahkan di sekolah yang sama, di kelas yang sama. Anjani berpikir itu pasti akan menyenangkan sekali, kehidupannya akan berubah.

Anjani tidak lagi sendiri dalam rumah Nenek yang kini sunyi, karena Nenek baru meninggal seminggu lalu  menyusul Ayah dan Ibu yang sudah berpulang lebih dahulu. Dirinya tidak akan kesepian, memandang masa depan yang segelap rumahnya, menyaksikan serombongan anak sekolah yang lewat depan rumah setiap pagi, mendengar canda dan tawa mereka diam-diam.

Anjani sudah meninggalkan bangku sekolah SD setahun lalu, sejak Nenek tidak lagi bisa bekerja, kakinya sulit bergerak diserang radang sendi akut, matanya tidak lagi dapat melihat. Kata Bu Bidan desa yang sering menolong Nenek, Nenek terkena katarak. Berhenti sekolah membuat Anjani merasa hidupnya gelap.

 


Lebih gelap lagi ketika Nenek meninggalkannya untuk selama-lamanya, beruntung Bu Guru Sekar yang datang ke desa sebagai guru tamu mendengar kisah Anjani yang sebatang kara, dan kemudian mengutarakan niatnya untuk mengambil Anjani sebagai anak asuh. Semua masyarakat, termasuk perangkat desa setuju, karena memang Anjani tidak lagi memiliki siapa-siapa.

“Kamu nanti akan menjadi anak pintar seperti anak Bu Guru Sekar, Nduk,” bisik Bu Bidan. “Bisa sekolah lagi, pintar, dan tahu banyak hal. Rumah Bu Guru pasti fasilitasnya lebih lengkap, rajin-rajin belajar ya.”

Anjani mengangguk. Bu Bidan memang begitu baik pada keluarga Anjani, dulu Nenek sering berobat gratis. Meski Bu Bidan kerjanya menolong ibu-ibu di desa melahirkan, tapi banyak juga masyarakat yang berobat ke tempatnya ketika sakit batuk, pilek, atau pusing.

Tapi ternyata rumah Bu Guru Sekar tidak seperti yang Anjani bayangkan. Semula Anjani mengira akan tinggal di kota, melihat banyak gedung-gedung, mobil-mobil bagus, toko-toko besar seperti yang diceritakan Ayahnya semasa hidup dulu. Rumah Bu Guru Sekar berada di pinggir kota dengan suasana yang tidak berbeda jauh dari desa tempat Anjani tinggal.

Anjani yang senang menulis cerita, sering berkhayal melalui tulisannya, suatu saat bisa ke kota, sekolah di kota, melihat banyak hal di kota. Impiannya pupus saat dia berhenti sekolah, tapi mimpinya bangkit kembali ketika menerima tawaran Bu Guru Sekar. Namun apa bedanya kalau sama-sama tinggal di desa?

“Selamat datang, Anjani. Aku Cahaya, mulai besok kau akan masuk sekolah. Karena Bunda sudah mendaftarkanmu di sekolahku, kita sekelas,” kata Cahaya ramah, saat Anjani tiba di rumahnya. Rupanya Bu Guru Sekar sudah mempersiapkan semuanya.

“Kata Bunda, kau hobby menulis cerpen ya? Kau bisa pakai laptopku, bisa browsing mencari bahan buat cerita. Karena meski di pinggiran kota, pakai internet keluarga IndiHome, sinyalnya sangat kencang.”

“Internet keluarga?” kening Anjani berkerut mendengar ucapan Cahaya.

“Iya,” Cahaya mengangguk, “Kau bisa menulis cerita tanpa batas, dan mengirimkannya ke penerbit mana pun. Apalagi akan ada lomba cerpen IndiHome loh, kau bisa ikutan dan dapat hadiahnya, Anjani.”

“Ikut lomba cerpen Indihome?”

“Iya. Ayo, kita browsing  bersama!” Cahaya mengajak Anjani ke kamar untuk menyalakan laptopnya, lantas keduanya asyik browsing.

 



Anjani mencari tempat-tempat wisata yang indah, tempat-tempat makan, gadis kecil itu merasa senang sekali. Apa yang dibayangkannya bisa terlihat nyata di depannya, dia tidak menyangka bisa memakai internet, bisa melihat dunia yang selama ini hanya dia dengar dari cerita Ayahnya dulu. Meski tinggal di pinggir kota, rasanya bisa menjangkau apa saja berkat intenet keluarga di rumah Bu Guru Sekar.

“Kalian sedang apa?” tiba-tiba Bu Guru Sekar muncul di pintu kamar.

“Lagi mengenalkan Anjani dengan internetnya Indonesia, Bu,” canda Cahaya.

Bu Guru Sekar tertawa, wanita itu masuk, dan duduk di sebelah Anjani serta Cahaya, “Tidak hanya browsing untuk mencari bahan-bahan menulis, Anjani, tapi IndiHome dari Telkom Group juga bisa berlangganan televisi yang acaranya bagus-bagus untuk anak-anak seusia kalian,” katanya lembut.

“Kalau kalian libur sekolah bisa nonton sepuasnya, dan ingat ya, kalau menggunakan internet harus sesuai dengan usia kalian. Tidak boleh melanggar peraturan.”

“Baik, Bunda,” sahut Cahaya sambil menyenggol bahu Anjani.

Anjani yang terdiam, langsung ikutan bilang,” Baik, Bunda.”

“Nah, gitu dong, anak-anak Bunda, sekarang waktunya kita makan malam, Bunda masak jjajangmyeon.” Bu Guru Sekar bangun dari duduk, beranjak ke luar kamar.

“Apa itu jjajangmyeon?” tanya Anjani terheran-heran.

“Browsing saja, Anjani, Bunda juga masaknya cari resep dari browsing,” jawab Cahaya sembari ketawa.

Teryata jjajangmyeon, mie yang sangat enak sekali, seumur hidup baru ini Anjani makan mie hitam seperti itu. Dan, Anjani baru tahu kalau jjajangmyeon makanan ala Korea yang disuka anak-anak. Ternyata Anjani jadi tahu banyak hal tanpa batas karena internet keluarga di rumah keluarga barunya. Hidupnya jadi tidak sesunyi dan segelap dulu, cita-citanya menjadi penulis terkenal semakin menyala.



June 21, 2022 34 komentar

Hujan jatuh ke bumi, rintiknya begitu telatur, pertemuan hujan dan bumi seperti pertemuan dua insan yang dimabuk cinta. Aku bisa melihatnya dengan jelas, lihatlah! Kilau air hujan yang jatuh dan lumer menyatu di tanah. Sebegitu rindunya kah alam? Setelah kemarau panjang, akhirnya hujan datang. Tentu saja kerinduan itu tidak terkatakan.
            Bau tanah menyebar, menyelusup rongga hidung. Reflek tanganku bergerak hendak membuka kaca buram angkot yang berjalan tergucang-gunjang sejak dari terminal Aweh tadi, karena jalan yang dilewati tidak beraturan.
            “Din, kok dibuka, bisa basah dong. “ Maya yang duduk di bangku depanku, menepuk lututku. Matanya memberi isyarat kalau penumpang lainnya di dalam angkot ini pasti akan protes.
            “Aku mau mencium bau hujan dan tanah, “ bisikku, tapi tangan yang tadi kugerakkan untuk membuka kaca tertunda. Kupikir, benar juga. Pasti penumpang di kiri kanan dan depan akan protes berat jika kaca jendela angkot kubuka. Mereka, tidak hanya mereka tapi barang bawaan mereka pasti akan basah. Kekonyolan apa, mau mencium bau hujan dan tanah. Wajah-wajah polos dalam angkot ini pasti akan menatapku heran.
            “Hanyang Baduy, Neng?” Seorang wanita setengah baya, dipangkuannya ada sekantong plastik besar, sepertinya berisi sayuran, bertanya padaku. Sinar matanya ramah, senyumnya tulus, mengukir kerut yang semakin banyak di wajahnya.
            Aku hanya melongo, kemudian membalasnya dengan senyum lebar.
“Muhun, Bu, kami rek Cibeo,” Maya langsung menyambar. Gadis itu memang bukan baru pertama kali ke Baduy, sementara aku baru kali ini, itu pun karena perjumpaanku dengan Zakri.
           
June 30, 2016 1 komentar


Oleh: Eni Martini

Hujan mencurah dari langit begitu kakiku menjejak pelataran Ciboleger. Bunga air itu tumpah, membuat sekitar berkilau karena cahaya pantulan airnya, yang menggenang di tanah, bebatuan, juga badan daun. Suasana sepi karena hujan, juga karena menjelang sore. Sejenak aku celingukkan,  mencari sosok yang sudah kuhapal. Lelaki muda berusia sekitar dua puluh tahun, berperawakan langsing namun memiliki otot-otot yang terbiasa bekerja keras. Rambutnya lurus, pendek dengan senyum polos yang selalu menampakkan lesung pipi. Dimana dia?
Sebuah papan informasi kusam tetap berdiri tegak dengan barisan tulisan yang mulai dimakan waktu: ANDA MEMASUKI KAWASAN HAK ULAYAT MASYARAKAT BADUY.
December 10, 2013 No komentar

By: Eni Martini
            "Ho panggonti ni1 Ayah, Mahdi. Pernikahan itu tidak sekedar cinta antara laki laki dan perempuan tapi ada akar yang harus kau tumbuhkan,agar pohon pohon yang Ayah tanam tumbuh terus." suara Ayah dalam, matanya tajam dan bening seolah bagai ceruk telaga, alis tebal menaunginya. Sungguh, meski   mata itu terkesan angker karena sikap Ayah yang dingin, pendiam, ketus, sesungguhnya merupakan bagian terindah di wajah Ayah.
Wajah dengan rahang kokoh dibarisi bulu disekitar dagu hingga nyaris mencapai bawah kuping, yang jarang tercukur rapi kecuali  Umak2 sudah meletakan perlengkapan cukur di meja kopinya sebagai tanda rahang itu semakin tenggelam dan harus dibenahi, Ayah akan terlihat sedikit muda dengan bayangan kebiruan di dagu dan rahangnya.
            Sungguh, meski usianya sudah mencapai enam puluh tahun, masih dapat ditemui garis yang menampakan muda dulu Ayah mewarisi ketampanan pria Tapanulis Selatan yang Khas. Begitu juga dirinya...

November 10, 2013 2 komentar

“Aku akan menikah bulan depan...”
“Oya?” dua pasang mata di depanku bergerak menuju fokus yang sama, yaitu diriku. Aku yang mengembangkan senyum lebar. Selebar dunia ini.
“Sama Ken?”
“Ken?’
Dua pasang mata itu saling menyambar. Sungguh, aku lihat kolaborasi rasa diantara keduanya, perasaan tak percaya sekaligus bahagia. Yah, Ola dan Leyla, dua sahabatku. Tentu keduanya merasa tdak percaya sekaligus bahagia. Mereka tahu Ken, mereka memahami Ken, mereka setia menanti ceritaku akan Ken. Ken dan Ken yang mengisi hari-hariku tiga bulan ini.
Siapakah Ken?
November 05, 2013 6 komentar

Oleh: Eni Martini

Kau tahu ada satu pertanyaan yang menggerus pikiranku hingga kini, pertanyaan yang kulontarkan dari 25 tahun lalu hingga kini usiaku 30 tahun. Bisa ditebak, waktu itu aku berusia 5 tahun, seorang gadis kecil dengan pipi chubby, mata bundar, rambut lurus dimodel bob dengan poni mirip tokoh kartun anak-anak yang populer sekarang: Dora.
Pipiku memang chubby tapi tubuhku tidak gendut, bobot tubuhku biasa saja. Jadi memang begitulah model pipiku, yang sering jadi sasaran kegemasan orang-orang dewasa. Mereka menoel, mencubit pelan sampai meremas sangat gemas dan aku tidak suka, karena kerap menimbulkan sakit dan meninggalkan jejak kemerahan di pipiku. Tak perduli itu karena mereka gemas sayang atau kagum, aku tidak suka.
            Kembali pada pertanyaan yang menggerus pikiranku selama 25 tahun, pada sebuah pesta yang mewah atau sederhana, yang penuh suka cita, hingar bingar tepuk tangan dan musik, mengapa kehadiran badut sangat disukai, bahkan pada pesta-pesta ulang tahun anak-anak badut seakan menjadi point center yang WOW? Mengapa?

October 28, 2013 7 komentar
Older Posts

Followers

Featured Post

Me Time Ala Ibu Rumah Tangga Bersama Dr Teal’s

Sebelum saya curhat panjang lebar, boleh dong tanya, apakah kalian sudah mengenal serangkaian produk Dr Teal’s?  Sebenarnya sih kalau meli...

About Me


Just Married


Tentang Aku

Tentang Eni Martini

Tentang DUNIAENI

Read More

Follow Us

Community Blogger

ConnectingMamaCommunity
MOM Bloggers. Community
Blogger Perempuan, Network
Blogger Croni,
Kumpulan Emak Blogger Indonesia
Indonesia Hijab Blogger
Warung Blogger
Hijab Influencers Blogger Indonesia

Created with by ThemeXpose