Hujan
jatuh ke bumi, rintiknya begitu telatur, pertemuan hujan dan bumi seperti
pertemuan dua insan yang dimabuk cinta. Aku bisa melihatnya dengan jelas,
lihatlah! Kilau air hujan yang jatuh dan lumer menyatu di tanah. Sebegitu
rindunya kah alam? Setelah kemarau panjang, akhirnya hujan datang. Tentu saja
kerinduan itu tidak terkatakan.
Bau tanah menyebar, menyelusup
rongga hidung. Reflek tanganku bergerak hendak membuka kaca buram angkot yang
berjalan tergucang-gunjang sejak dari terminal Aweh tadi, karena jalan yang
dilewati tidak beraturan.
“Din, kok dibuka, bisa basah dong. “
Maya yang duduk di bangku depanku, menepuk lututku. Matanya memberi isyarat
kalau penumpang lainnya di dalam angkot ini pasti akan protes.
“Aku mau mencium bau hujan dan
tanah, “ bisikku, tapi tangan yang tadi kugerakkan untuk membuka kaca tertunda.
Kupikir, benar juga. Pasti penumpang di kiri kanan dan depan akan protes berat
jika kaca jendela angkot kubuka. Mereka, tidak hanya mereka tapi barang bawaan
mereka pasti akan basah. Kekonyolan apa, mau mencium bau hujan dan tanah.
Wajah-wajah polos dalam angkot ini pasti akan menatapku heran.
“Hanyang
Baduy, Neng?” Seorang wanita setengah baya, dipangkuannya ada sekantong
plastik besar, sepertinya berisi sayuran, bertanya padaku. Sinar matanya ramah,
senyumnya tulus, mengukir kerut yang semakin banyak di wajahnya.
Aku hanya melongo, kemudian membalasnya
dengan senyum lebar.
“Muhun, Bu, kami rek Cibeo,” Maya
langsung menyambar. Gadis itu memang bukan baru pertama kali ke Baduy, sementara
aku baru kali ini, itu pun karena perjumpaanku dengan Zakri.