IMAJINASI

by - November 05, 2013


“Aku akan menikah bulan depan...”
“Oya?” dua pasang mata di depanku bergerak menuju fokus yang sama, yaitu diriku. Aku yang mengembangkan senyum lebar. Selebar dunia ini.
“Sama Ken?”
“Ken?’
Dua pasang mata itu saling menyambar. Sungguh, aku lihat kolaborasi rasa diantara keduanya, perasaan tak percaya sekaligus bahagia. Yah, Ola dan Leyla, dua sahabatku. Tentu keduanya merasa tdak percaya sekaligus bahagia. Mereka tahu Ken, mereka memahami Ken, mereka setia menanti ceritaku akan Ken. Ken dan Ken yang mengisi hari-hariku tiga bulan ini.
Siapakah Ken?


Dengarkan baik-baik ceritaku ini: Ken adalah pria berusia kurang lebih, lebih tua tiga tahun dari aku. Jadi tepatnya 33 tahun. Berperawakan sedang, tegap, rambut ikal yang dipotong rapi. Wajah dengan tulang rahang yang tajam khas pria Sumatera. Yah, Ken berasal dari suku Riau. Hidungnya mancung, bibirnya tipis kecoklatan oleh asap rokok yang setia menggantung di bibirnya. Sepasang mata tajamnya dibingkai alis tebal, hitam. Sungguh, aku begitu mengaguminya.
“Kau sudah jatuh cinta, Ros!” Pekik Ola ketika pertama kuberitahu akan Ken.
“Dimana dirimu mengenalnya?” Leyla ikut penasaran.
“Saat aku pulang dari kantor, hujan lebat waktu itu. Motorku terjebak banjir dan mogok, pukul 7 malam daerah Kuningan sepi. Hujan membuat sepi tepatnya, aku berusaha melawan takut. Sekuat tenaga mendorong motorku, sampai sebuah tangan kokoh menyambar setir motorku saat aku hampir roboh...”
Aku bercerita panjang tentang Ken. Ola dan Leyla takjim mendengarkan, sampai tidak berkedip.
“Ternyata seorang pria dengan kemeja kotak-kotak biru, tubuhnya kuyup, menawarkan bantuan membawa motorku. Hujan begitu deras, pria itu membawa motorku menepi. Kami berteduh di halte...”
“Namaku Ken, kamu?” pria itu, bernama Ken. Mengulurkan tangannya yang basah padaku. Aku rasakan tangannya tetap hangat meski basah.
“Rosalina...”
“Nama yang indah. Oya, rumahmu masih jauh?”
“Mampang.”
“Lumayan dekat sebenarnya, tapi kondisi hujan dan motormu mogok. Mesinnya terisi air. Bagaimana kalau motornya aku titipkan ke kantor sekitar sini, lalu kamu kuantar pulang?’
“Memangnya bisa dititipkan?”
“Apa yang tidak bisa di dunia ini jika kita berniat baik dan sungguh-sungguh...” Ken berkata sambil menatapku tegas. Baru aku tahu, matanya sangat menghangatkan selain telapak tangannya. Seperti itukah para pria dilahirkan, untuk mengalirkan rasa hangat yang ajaib. Seperti semacam cahaya panas yang menyambar keseluruh permukaan kulit dan menyelusup ke dalam aliran darah. Hangat semuanya.
Ola dan Leyla tertawa mendengar ceritaku. “Kamu polos banget, Ros. Itu namanya naluriah manusia yang alami...” kata Ola diantara derai tawanya.
Ya, ya...naluriah yang alami. Yang tanpa merasakan pun, dengan membayangkan aku sudah bisa mengimajinasikannya secara nyata tentang rasa hangat itu.
“Tuh, pipimu merah...Hahahahaha!” dua sahabatku tertawa lagi. Begitulah hari-hari setelah cerita soal Ken muncul. Mereka berdua, Ola dan Leyla menjadi tempat aku bercerita setiap hari. Kami bersahabat sejak kuliah, kantor kami sama-sama di kuningan. Setiap makan siang kami janjian ketemuan di warung-warung makan yang banyak bertebaran di jalan Setia Budi.
Kami suka memesan nasi goreng kambing, kwitieu goreng pedas, gado-gado atau mie pangsit sebagai makan siang, ditemani cerita tentang Ken.
“Cerita lah sepuasnya, Ros. Kami senang, akhirnya kau punya kekasih,” kata Leyla didukung Ola, membuat aku semakin menggebu-gebu bercerita tentang Ken dan Ken.
“Iya, Ken mengantarku malam itu setelah mendorong motorku dideras hujan, menitipkan pada sebuah kantor. Besoknya dia datang mengantarkan motorku dalam kondisi nyala. Aku tidak tahu, tapi Mama bilang motorku diantar oleh seorang pria tampan berbaju biru.”
“Kau memberikan kuncinya malam itu, Ros?” potong Ola, matanya membeliak.
Aku mengangguk.
“Kau sepercaya itu pada pria yang baru kenal, belum tahu siapa dia?” Leyla ikutan membeliak, hanya karena matanya sipit jadi terlihat lucu.
Aku mengangguk lagi. Kedua sahabatku menghela napas sambil mengeleng-geleng, “Untung kau bertemu pria baik-baik, bukan rampok atau tukang pemerkosa...” kata mereka bareng.
Gantian aku yang membeliak, menelaah diam-diam ceritaku. Aku yakin tidak ada yang ganjil dengan ceritaku. Ya, aku begitu percaya dengan Ken. Entah, kenapa walau baru bertemunya malam itu. Rasa hangat ditelapak tanganya, sinar matanya, seakan sebuah kode bahwa pria itu adalah pria baik-baik yang diantarkan Tuhan untukku.
...
“Ken menembakku!” kusampaikan berita itu sebulan kemudian setelah berbagai cerita tentang Ken terus mengalir dari mulutku.
“YES!” dua sahabatku mengepalkan tangannya, mimik mereka lega akhirnya Ken menyukaiku secara nyata. Sebulan ini kulihat mereka sedikit kawatir, aku hanya bercerita soal telepon Ken yang bicara tentang pekerjaan, kedatangan Ken yang mengotak atik motorku di rumah. Sepertinya mereka menduga Ken hanya mengganggapku teman dan aku terlampau berharap jauh. Mereka pasti lihat itu dari sinar mataku, kilau merah  jambu di pipiku setiap cerita tentang Ken.
“Kalau begitu berarti sudah boleh dong, Ken dikenalkan ke kita,” ujar Leyla.
“Setuju!” Ola menanggapi dengan semangat.
Aku menggeleng lemah, “Jangan sekarang...’
“Kenapa?” Ola dan Leyla bertanya serempak.
“Kami ini sahabatmu, Ros. Suamiku dan suami Ola pasti mau kok kami ajak kenalan dengan kekasihmu. Seneng banget malah...” ucap Leyla serius. Ya, dua sahabatku ini memang sudah menikah. Ola sedang hamil anak kedua, dan Leyla baru enam bulan lalu melahirkan putri pertamanya. Tinggal aku yang menunggu keajaiban seperti mereka, menjadi perempuan sempurna tentunya: Menikah dan punya anak.
“Suami-suami kita juga sahabatmu, Ros...” Ola menggenggam tanganku yang gemetar.
“Aku sama Ken baru jadian, biarkan kami saling memahami, mengenali satu sama lain. Setelah itu baru akan aku bawa Ken kehadapan kalian...” kataku ragu-ragu. Sebab, aku tidak yakin, apakah bisa...
“Kalian kan tahu, aku dan Ken baru satu bulan berinteraksi. Bisa jadi aku atau Ken belum saling mengenali karakter masing-masing. Biar Ken nyaman dulu disampingku, baru masuk ke dalam sahabat-sahabatku,” lanjutku penuh harap.
“Baiklah, Ros...kami mengerti. Jaga hubunganmu dengan Ken, Yah. Jaga jangan sampai lerai,” ucap Ola. Matanya begitu kawatir membuat deburan kuat di jantungku.
“Iya, Ros. Dijaga yah, jangan egois. Pria itu mahluk paling tinggi egonya, lebih baik kau mengalah dan berlaku bak dewi disampingnya,” tambah Leyla, “Sebab, ketika pria sudah kau tahlukkan...segalanya akan kau pegang.”
Deburan jantungku mencapai puncak hingga aku lemas, berusaha menyakini bahwa kedua sahabatku percaya akan Ken. Lihatlah dua pasang mata di depanku, begitu serius.Menjadikan cerita tentang Ken semakin panjang. Panjang hingga bulan ketiga... Ken melamarku.
...
“So sekarang boleh dong kami bertemu Ken?” cetus Leyla atusias.
“Jangan, jangan sekarang juga.”
“LOH?” Ola dan Leyla saling tatap.
“Kami sedang repot, pernikahan ini tidak besar-besaran juga. Sederhana saja seperti garden party. Tapi tetap sangat merepotkan, aku dan Ken harus mengurus ini dan itu. Kami menanganinya sendiri saja...”
“Padahal kami begitu ingin bertemu Ken, Rooos...” rengek Leyla.
“Ho oh,” sambut Ola.
“Buat apa sih, kok jadi kalian yang seperti tergila-gila dengan Ken?”
Sejenak Ola dan Leyla melongo. Baru mereka sadari, mereka begitu penasaran dengan sosok Ken. Bahkan diam-diam mereka seperti mengidolakan Ken, lelaki di luar suami mereka sendiri. Mungkin tepatnya, menganggumi dari segala hal tentang Ken yang dicekoki oleh Rosalina setiap hari. Bahkan mereka kecanduan cerita-cerita tentang Ken, sehingga selalu menanti apa yang akan Rosalina ceritakan tentang Ken. Duh, kok bisa ya?
“Nanti di resepsiku juga ketemu,” ujarku menenangkan. Beruntung kedua sahabatku tidak memaksa. Mereka lantas fokus dengan gaun pengantin yang akan aku pakai. Putih, semua serba putih. Aku hanya akan memakai gaun pengantin sederhana sebatas mata kaki, gaun dengan ornamen bunga mawar putih yang menumpuk didada. Rambutku yang lurus mencapai bahu akan aku gerai, dimahkotai bunga mawar segar putih...mungkin aku akan sesederhana Kate Middleton istri pangeran William. Kate mengenakan gaun pengantin putih yang sederhana di hari pernikahannya...
“Jangan lupa diet, Ros, masih ada waktu satu bulan supaya terlihat memukau di hari istimewamu,” saran Leyla.
“Iya, diet ketat. Harusnya dari kemarin-kemarin, ini hari-harimu makan terus. Barusan dua mangkuk mie kau habiskan, Ros,” Ola mengomel.
“Aku janji, aku akan diet,” ujarku, menahan sesak di dada.
“Hargailah Ken, dia pasti bahagia jika kau lebih cantik lagi,” bisik Ola begitu menyadari perubahan mimikku. “Dia pasti akan terpana melihat kau dengan gaun putih, motivasi dirimu dengan impian itu. Lihat Leyla, baru enam bulan melahirkan, sudah kembali langsing.”
Aku mengangguk asal.
“Kalau mau akupuntur, bisa ke dokterku, Ros. Manjur, dalam waktu satu bulan bobotku turun 5kilo. Kalau mau lebih keras lagi bahkan ada yang turun sampai 8 kilo selama sebulan,” Kata Leyla.
Aku mengangguk lamban. Kubiarkan mereka bicara panjang lebar soal diet, bukankah itu hal yang wajar bagi pengantin wanita: Diet menjelang hari pernikahan.
...
Aku membenamkan kepalaku ke dalam bantal...
Satu minggu sudah sejak ijin cuti, aku mengumpulkan sejuta keberaniaku menelepon Ola dan Leyla untuk mengabarkan sesuatu. Sengaja tiga hari ini aku tidak mengubungi mereka, tidak mengangkat telepon mereka, tidak membalas BBM atau DM mereka di twit.
Sejauh mana persiapanmu, Ros?
Maaf kami tidak bisa membantu
Tapi apa yang kau butuhkan kami bisa kirim sebisanya.
Itu BBM Leyla.
Ros, kenapa susah dihubungi
Apakah semua sudah beres
Apa yang kurang?
Itu DM Ola.
Dua sahabatku yang baik, begitu baik. Aku harus mengabarkan ini, harus. Ah, Ken. Ken...
“Pernikahanku gagal, La...” Ola yang pertama kutelepon, sebab dia lebih tenang dibanding Leyla yang berapi-api. Aku butuh ketenangan sekarang. Detik-detik ini, hal terpenting dalam hidupku.
“HAH!” kudengar suara Ola menggelegar, diluar dugaanku responnya atas kabar yang kusampaikan barusan. Aku jadi gemetar sendiri.
“Kenapa, Ros? Kenapa?” kudengar Ola justru menangis sebelum aku menangis. Apakah sejauh itu dia mengharapkan aku menikah?
“Ken membatalkan pernikahan ini tanpa alasan, La, Ken menghilang. Persiapan kami nyaris seratus persen...” aku tergugu oleh ucapanku sendiri, tapi aku tidak bisa menangis. Yang ada aku justru gemetar ketakutan, tidak yakin dengan kalimatku sendiri.
“Sabar, Ros, kuat. Tuhan pasti punya rencana dibalik itu, rencana terbaik buatmu. Percayalah, Tuhan akan mengirimmu pria yang jauh lebih baik. Yang mencintaimu apa adanya. Tiga puluh tahun bukan segalanya untuk membuatmu patah hati karena belum menikah, Ros...”
Panjang sekali kata-kata Ola, bermunculan seperti ribuan kerikil yang melontar ke kepalaku. Sakit berdenyut-denyut, kenapa jadi begini? Akhirnya aku memutuskan untuk memperdengarkan tangisku, tangis tanpa air mata. Bahkan bibirku justru menyeringai kaku. Agar telepon ini tersudahi segera, sukses Ola bersedia telepon kututup.
“Kabari Leyla yah, aku ingin istirahat, La...” kataku lirih. Kepalaku benar-benar jadi berdenyut. Kuletakkan ponsel ke meja rias, lalu bercermin lama...
Tidak ada Kate yang ada sosok wanita dengan tubuh over wight, wajah bulat dihiasi rambut lurus melebihi bahu yang tipis. Juga tidak ada Ken, apalagi soal rencana pernikahan dan gaun putih ala istri pangeran William. Tidak ada pernikahan, jadi apa yang disebut pembatalan pernikahan? TIDAK ADA!
Aku melihat mataku tahu-tahu basah. Menangis sungguhan. Puas, kalian semua puas jika pertanyaan kalian tentang pernikahan padaku, hanya membuat aku jadi pemimpi kelas akut. Menjerumuskan aku pada lubang terdalam. Kalau kalian tahu, aku paling takut ditanya: KAPAN KAMU AKAN MENIKAH, ROSE?

Aku memukul kaca di depanku hingga retak, berharap mimpi-mimpi selama tiga bulan ini pecah, burai, lenyap ditiup angin.

You May Also Like

6 komentar

  1. hehe, bener. pria makhluk paling tinggi egonya. sedikit ego terusik, pasti lerai deh kalo ga bisa ngimbangi :D

    ReplyDelete
  2. Hm ... kenapa milih nama Leyla mbak?
    Kapan ya pake nama Niar
    *pletak*
    OOT yak? :D

    ReplyDelete
  3. Bagus bgt mba.....Ceritanya mengalir dgn riak emosi yg pas. .

    ReplyDelete
  4. Alamaaakkk.... Bingung jd nya mo komen apaan mbak.... Sukaaaaa :)

    ReplyDelete
  5. Huff..miris ya. Karena tuntunan sekitar yg berlebihan.

    ReplyDelete