AKU INI BINATANG JALANG - CHAIRIL ANWAR

by - January 24, 2014


Judul     : Aku Ini Binatang Jalang-Chairil Anwar
Penulis  : Chairil anwar
Penerbit: GPU
Tahun Terbit: Juli 2011
Tebal    :131
Buku     : Non Fiksi
ISBN     : 978-979-22-7277-2



AKU

Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan terbuang

Biar perluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943

Kapankah tepatnya kau atau aku mengenal Chairil Anwar?


Seingat saya, sewaktu SD sajak AKU ini sudah harus diapalkan, entahlah  untuk anak SD masa kini, apakah sajak-sajak masih begitu  berarti. Dulu betapa bangganya menyerukan kata-kata AKU dengan nada deklamasi, berikut gerakan anggota tubuh, tangan satu terkepal ke depan. Seakan setiap bait AKU mengandung magic dan power yang besar, seperti ketika kita menyanyikan ‘BERKIBARLAH BENDERAKU’, tentu ini versi feel subyektifitas saya. Terlebih saya memang penyuka sajak sejak kecil.
Sajak-sajak Chairil Anwar yang paling membekas tajam nyaris pada semua orang memang yang berjudul AKU, bahkan dari puisi AKU ini laksana sudah menyatu dengan penulisnya yang berjuluk CHAIRIL SI BINATANG JALANG, meski sajaknya Krawang-Bekasi tidak kalah terkenalnya.

Saya setuju sekali jika dikatakan  penyair angkatan 45 yang meninggal dalam usia muda ini goresan sajaknya sangat menggambarkan jiwa muda yang berkobar, identik dengan pemberontakan, sehingga karya-karya sajaknya jarang yang memasukan dalam jajaran puisi romantik.
Jarang atau belum ada? Ehmmm, benarkah sajak-sajak Chairil jauh dari romantik?

Dalam buku hardcover bersampul maron kolaborasi warna kopi berjudul AKU INI BINATANG JALANG - CHAIRIL ANWAR dengan cover depan potret sang penyair yang khas mendunia: ekspresi bersama sebatang rokok. Buku setebal 131 ini berisi kumpulan puisi terlengkap dari tahun 1942-1949 karya Chairil Anwar, berikut surat-surat beliau teruntuk sahabatnya HB.Jassin yang mengabarkan keadaan jiwanya...

(Kartu pos, 11 Maret 1944)
d/a R.M Djojosepoetro
Paron
Pagi
Jassin
Kubaca sajak-sajakku semua. Aku kesal, sekesalnya..., jiwaku setiap menit bertukar warna, sehingga tak tahu aku apa
Aku sebenarnya...
(Hal:117)

Terbaca bagaimana Chairil digerogoti gelisah tak bertuan, begitu juga dengan sajak-sajak lainnya yang saya baca, seperti (hal:14):

SENDIRI

Hidupnya tambah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi
Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian di kamarnya

Ia benci dirinya dari segalanya
Yang meminta perempuan untuk kawannya

Bahaya dari tiap sudut. Mendekat  juga
Dalam ketakutan menanti ia menyebut satu nama

Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?
Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!
Februari 1943

Dan beberapa puisi lagi tentang perempuan, tentang rindu, tentang cinta ditulis dengan bahasa pedih perih, seperti sepenggal sajak CINTAKU JAUH DI PULAU (hal:72):

Manisku jauh di pulau
Kalau ku’mati, dia mati iseng sendiri

Atau sajak dalam bahasa sedikit nakal (hal:38):

MULUTMU MENCUBIT DIMULUTKU
Mulutmu mencubit dimulutku
Menggelegak benci sejenak itu
Mengapa merihmu tak kucekik pula
Ketika halus-perih kau meluka?
12 Juli 1943

Entah, mungkin pada jamannya kondisi demikian atau memang Chairil Anwar adalah bagian dari suara jiwa-jiwa yang penuh pemberontakan, membaca sajak-sajaknya dalam bukunya ini... sesudahnya saya merasa seperti ada yang kosong-hilang-emosi-tragis dari seorang Chairil Anwar.

Konon, ada satu pandangan yang mengatakan’the author is dead’ dimana jika seorang penulis telah mempublishkan karyanya, baik real atau tidak real, karya tersebut telah lepas dari biografi penulisnya. So demikian...menutup pada halaman 109... buat saya, lagi-lagi feel subyektifitas saya bahwa sajak-sajak Chairil Anwar memang tidak  romantik.

Namun Chairil Anwar sebagai salah satu penyair besar Indonesia, SAYA SETUJU karya-karya beliau akan terus hidup seribu tahun lagi.

Seperti yang diungkapkan oleh Sapardi Djoko Damono pada Kata Penutup di buku ini:

Tidak ada hasil  kerja manusia yang sempurna. Sebagian besar sajak Chairil Anwar mungkin sekali sudah merupakan masa lampau, yang tidak cukup pantas diteladani para sastrawan sesudahnya.
Namun, beberapa sajaknya yang terbaik menunjukka bahwa ia (Chairil Anwar) telah bergerak begitu cepat ke depan, sehingga bahkan bagi banyak penyair masa kini taraf sajak-sajaknya tersebut bukan merupakan masa lampau tetapi masa depan...’

Jadi saya pikir, jika anda pencinta karya sastra Indonesia... layak menjadikan buku ini sebagai koleksi pribadi, juga tentu saja kumpulan puisinya Sapardi Djoko Damono: Hujan Bulan Juni dan buku yang tokohnya mati dibungkam kenyataan: Wiji Tukul





You May Also Like

15 komentar

  1. Buku ini melegenda banget ya mba. Apalgi pas jaman AADC. Hihihi

    ReplyDelete
  2. Waah..belum sempet baca buku ini, padahal ada di perpus kampus. Thanks for the review :)

    zahra-salsa.blogspot.com

    ReplyDelete
  3. jadi ingat zaman masih sekolah... suka baca puisi ini depan kelas.., dan kalo ujian sering masuk dalm soal bahasa indonesia..., aku suka puisinya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jaman dulu anak-anak tahu banyak karya lama ya

      Delete
  4. Benar mbak, walaupun beliau sudah tiada, karya-karya tetap abadi ya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yups, melegenda meski ada beberapa karyanya yang plagiat

      Delete
  5. Dulu zaman sekolah SD SMP legend banget ya puisi khairil Anwar ini. Dulu kakakku deklamasinya ini tentang Aku.

    ReplyDelete
  6. suka dulu baca puisinya, sering perlombaan juga. Emang keren diksinya Puisi Chairil Anwar

    ReplyDelete
  7. suka beud dulu sama chairil anwar pas awal2 tau puisinya di buku bahasa indonesia

    ReplyDelete