Mengapa Ibu Menjadi Monster

by - September 17, 2017



Pernah gak terjadi dalam diri Anda sebagai ibu yang tentu saja memiliki anak, lalu Anda melihat si kecil seakan ingin melumatnya atau merasa Anda begitu tersiksa dan ingin membenturkan diri ke dinding, atau ingin pergi sejauhnya dari anak-anak? Atau lepas kontrol sesaat dengan mengeluarkan suara yang menggelegar kepada anak-anak, melepas cubitan, pukulan. Namun setelahnya Anda merasa begitu lemas, sedih, dan menyesal., ingin memeluk anak-anak sekuatnya dan membisikkan kata maaf yang berulang-ulang.

Tetapi ketika dipicu oleh hal-hal yang membuat Anda tegang, seperti anak-anak yang tantrum, pekerjaan rumah yang menumpuk, suami yang pulang larut atau kurang memahami kondisi Anda, si moster dalam diri itu datang lagi mengubah Anda benar-benar jadi monster.

Menyadari atau tidak, mengakui atau tidak, mengiyakan atau tidak, sebagai ibu kita rawan melewati tahap menjadi monster ini. Bahkan mungkin setiap ibu potensial memiliki monster di dalam jiwanya jika dalam posisi tertentu seperti yang saya ceritakan di atas.

Berarti saya pun pernah mengalaminya?
Iyess, meski tahap setiap orang berbeda-beda, tetapi saya pernah mengalaminya menjadi monster bagi anak-anak saya. Saya mengeluarkan suara yang menggelegar, membanting barang-barang, memukul anak-anak, dan menangis sedih sendiri: Mengapa saya melakukannya? Apa yang telah saya lakukan? Dan, semalaman saya tidak tertidur hanya karena hati dipenuhi buih-buih penyesalan. Sakit rasanya, namun begitu dipicu kembali dengan kondisi tertentu saya meledak lagi.

Pernah saya bercermin dan menatap wajah yang kuyu, mata panda, rambut nyaris tidak tersisir, senyum ceria yang hilang oleh amarah. Secara keseluruhan wajah dalam cermin itu begitu kasian...


Mengapa Ibu Menjadi Monster
Kondisi Yang Harus Ditanggung

Tahap saya melewati masa tersulit sebagai ibu dan istri adalah ketika anak nomor dua dan nomor tiga lahir dalam jeda cukup dekat, yakni ketika Pijar berusia 3 tahun saya hamil. Jadi sebelum usia 4 tahun Pijar sudah memiliki adik. Sementara Lintang meski sudah berusia 6 tahun belum dapat dikatakan bisa diandalkan.

Lalu kondisi ekonomi saya dan suami sedang di bawah, down! Mungkin setiap helaan napas buat saya adalah berpikir, gimana untuk rejeki hari esok dengan tiga anak yang kecil-kecil? Ditambah pukulan berat putra ke tiga yang baru saya lahirkan membutuhkan perawatan atau therapi khusus, yang mengharuskan saya setiap bulan berbenturan dengan dokter dan rumah sakit.

Setiap jadwal therapi, diburu materi, setiap pulang therapi dihantam ucapan-ucapan ahli medis tentang kondisi si kecil yang tidak kunjung memberi progress. Rasa-rasa ini menggelembung, siap meledak.

Maka ketika dipicu hal-hal sepele sekali pun, seperti anak bertengkar, menangis, atau posisi si kecil puppy, lalu kakaknya juga puppy. Mereka teriak-teriak meminta tolong untuk segera dibersihkan, sementara kadang saya sedang menulis DL novel. Kondisi seperti ini ibarat jarum tajam yang menusuk dan meledakkan gelembung di kepala dengan sempurna, DUAR! Seketika monster itu muncul dan menciptkan kemarahan-kemarahan.

Suami Pasif

Suami saya tergolong pendiam, dia berperan baik membantu segala hal, tetapi pasif dalam arti tidak bisa mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata. Sementara saya senang mendengar kata-kata yang penuh cinta dan perhatian. Bahasa kerennya, saya senang digombalin, hahaha. Apalagi jiwa saya cenderung romansa, mungkin karena itu saya ditakdirkan menulis novel.

Serius kata-kata gombal itu  bisa jadi serum buat saya, bisa membuat sesuatu yang sederhana jadi tidak sederhana, seperti kata: "bu pagi ini terlihat cantik" atau : "Istriku hebat." Namun tidak semua pria bisa melakukan hal sederhana ini.

Jiwa Setiap Ibu Berbeda-Beda

"Anak lo cukup jauh kok jedanya, dibanding anak gue yang setahun ada."
Seorang kenalan pernah mengatakan itu. Ya, ya, sebenarnya dibanding jeda usia Pijar dan alm Gibran, jeda usia Lintang ke Pijar lebih dekat, saya hamil Pijar ketika usia Lintang baru dua tahun. Tetapi semua terlewati dengan baik-baik saja, bahkan ketika melahirkan anak pertama saya menderita sakit hingga nyaris empat bulan susah jalan, semua tidak membuat saya menjadi monster.

Ekonomi?

Saat itu karena baru menikah, tahap belajar dalam segala hal, tidak  juga dapat dikatakan ekonomi saya dan suami baik-baik saja. Kami masih pas-pasan, melahirkan pun saat itu di puskesmas, berbeda dengan anak ke dua, ke tiga, dan ke empat, yang ditangani dokter kandungan dan rumah sakit bagus.
Empat bulan baru memiliki anak pertama, baru hangat-hangatnya menikah, dan  harus menderita susah jalan, bagian intim sakit tiada henti, efek robekan dan jahitan serta penanganan yang salah saat itu membuat dunia saya gelap.

Tapi penderitaan 4 bulan itu saya jalani dengan kesedihan sendiri dan semangat untuk sembuh karena ada Lintang dan suami, itu saja. Lalu mengapa setelah 7 tahun menikah, memiliki 3 anak, saya justru mengalami tahap menjadi monster bagi anak-anak saya?

Terbuka Kepada Suami
Wanita Butuh Digombalin

Hingga kemudian anak ke tiga saya meninggal, saya mengalami dari masa-masa menjadi monster berubah masa menjadi  seperti patung, baca kisahnya di sini:

Bagaimana Menjadi Ikhlas Ketika Kehilangan Anak
Setelah kepergian anak saya, setelah sebulan tidak saling bicara dengan suami, di suatu malam yang hening kami berpelukan dan meluncurkan kata-kata saya: "Ayah, ibu butuh dicintai dengan nyata.."
Tentu suami saya tidak mengerti dan mengatakan semua hal yang dia lakukan dalam hidupnya untuk saya, apa itu kurang mencintai?

"Nyata dengan kata-kata, Ayah, mungkin gombal, tapi aku  butuh kamu bilang cinta, kamu bilang aku cantik, aku butuh untuk keluar dari rasa sulit yang tidak bisa diungkapkan..."
"Kalau bisa dada Ayah dibelah, mungkin semuanya cuma ada Ibu..."
Itu kata-kata diucapkan bertahun-tahun lalu dan masih terukir dengan amat baik dalam ingatan saya. Begitu dasyatnya bukan, kata-kata cinta bagi wanita?

Cinta suami bisa jadi serum dalam jiwa Ibu
Yeaaah, dada ini terasa bolong, luas, seakan lautan bisa masuk ke dalamnya, memperdengarkan ombak, menghadirkan angin pantai dan suara burung-burung. Bahagia itu sederhana, namun sering tidak sederhana untuk mewujudkannya, butuh keberanian dalam mengungkapkannya.

Kedekatan saya dan suami hingga lahir anak kami yang ke empat, setelah dua tahun kepergian alm Gibran, membuat kehamilan, melahirkan dan masa mengasuh si bungsu penuh kebahagiaan. Alhamdullilah, kebahagiaan ini membuat pekerjaan rumah tangga, dan lainnya terasa begitu ringan.



Me Time
Wanita Butuh Teman&Menyenangkan Diri Sendiri

Sahabat seperjalanan doeloe
Sejak menikah saya kehilangan sahabat saya pelan-pelan. Saat anak pertama lahir, sahabat saya yang belum menikah atau yang baru menikah kerap main, bahkan waktu saya hamil anak pertama, suami sibuk bekerja, saya pernah nongkrong di kantor teman seharian atau jalan-jalan seharian. Begitu pun ketika baru memiliki anak satu, saya kerap janjian nongkrong  bareng sahabat saya.

Suami juga kerap menemani silaturahmi, sejauh apapun saya dan suami datangi. Karena anak kami baru punya 1-2, masih mudah untuk membawanya ke mana-mana,  mereka juga belum memasuki tahap sekolah sehingga lebih longgar waktunya. Setelah memiliki 3 anak, terbentur ini itu waktu saya hanya bekerja dan bekerja, bertemu teman atau sahabat bisa setahun atau bertahun-tahun baru ketemu. Itu pun waktunya tidak banyak, masing-masing dikungkung kewajiban.

Ngobrol sama Leyla Hana di sela acara blogger
Dari tahun 2008 saya aktif di medsos, tapi bukan tipe yang bisa menuliskan derita bahkan cerita pun saya tidak bisa. Saya cenderung jadi pelaku pendengar dan memberi masukan, saya hanya cerewet menulis novel Di medsos saya memiliki teman yang juga penulis,  Leyla Hana, wanita ini sering sharing berbagai hal yang ternyata menyadari saya setiap ibu bisa menjadi moster dan itu manusiawi. Namun harus dihentikan agar tidak kebablasan.

Me time; maksi bareng teman-teman di medsos

Nyalon bareng sohib dekat rumah
Selain Leyla Hana, teman-teman medsos saya banyak sekali, ada Anik Nuraeni, Dhani Praktiknyo, Viana, Santy, dan tidak terhitung. Mereka pun hadir di saat anak ke tiga saya dipanggil. Namun pertemuan dengan mereka sangat jarang, kopdar atau pertemuan dunia nyata hanya sesekali.

Bahagia Mengenyahkan Monster Itu

Wanita itu berhak bahagia
Tahun 2015 akhir saya memutuskan untuk aktif dan menghidupkan blog saya, dan ini ternyata jadi me time yang menyenangkan sekali. Sesaat bebas dari rutinitas rumah, berkumpul dengan teman-teman untuk tertawa dan bicara apa saja, tampil cantik sebagai kodrat wanita. Siapa sih, wanita yang tidak ingin bisa tampil cantik?

Ikut komunitas blogger
Ngeblog kegiatan yang positif
SUNGGUH! Ini efeknya tidak sederhana, jika kata-kata romantis suami seperti serum maka me time itu seperti booster mood yang tinggi. Silaturahmi di Medos pun semakin meluas, saya memiliki teman-teman lainnya. Tidak hanya dalam pekerjaan, sesekali kami bertemu di dunia nyata, ngobrol ringan, bergosip nakal, belanja pribadi.

Dan, belum lama saya bicara dengan suami bahwa dalam pernikahan saya menuju 13 tahun ini, masa mengandung, melahirkan Pendar dan menjadi ibu tiga anak dengan pekerjaan lain di luar ibu rumah tangga, saya justru merasa JAUH LEBIH MUDAH DAN RINGAN meski secara fisik alami merasakan capek. Apakah ini juga faktor usia yang semakin matang?

Kata suami saya, karena saya bahagia dengan apa yang saya lakukan sekarang dan menurut saya: Karena saya merasa dicintai suami dan teman-teman, memiliki waktu untuk diri sendiri.
Cerita ini mungkin tidak sama dengan apa yang Anda alami, saya juga bukan seorang psikologi yang ahli dalam teori penyembuhan masalah psikis (kuliah psikologi saya saja tidak selesai, wwkwkw), saya juga tidak meminta persetujuan siapapun, namun setidaknya saya  berbagi tentang kejujuran seorang wanita dan ibu. Mungkin hal sederhana ini bisa menjadi inspirasi Anda untuk menjadi bahagia dan diri sendiri.

Mengutif sebuah kalimat yang mungkin bermanfaat:


Yuk, kita simak juga curhat Leyla Hana  untuk membuat dirinya bahagia dan keluar dari jeratan monster:

Ibu Rumah Tangga Rentan Stres danDepresi, Ini Cara saya Untuk Bahagia.

So, komen menarik akan mendapatkan tote bag handmade dari Yukero, selain komen menarik syarat lainnya jangan lupa follow @whatsyukero dan @dzulkhulaifah Insallah langsung difolback, harga tasnya lumayan loh. Kalau penasaran bisa juga langsung cus ke yukero,com

Ini hadiahnya buat satu pemenang dengan komentar terinspiratif


You May Also Like

21 komentar

  1. Baru tahu ternyata pas Gibran lahir itu mba Eni sedang masa susah ya. Tapi dulu kelihatan biasa saja sampai Gibran meninggal. Salut mba Eni bisa menyembunyikan semuanya.

    ReplyDelete
  2. Ini pelajaran penting banget! Jadi ibu baru kadang jg gak mudah.. sedih liat muka kucel dan stress ini itu belum selesai. Makanya lg belajar utk ngurangin semua yg bikin stress.. TFS mba ��

    ReplyDelete
  3. baca dr atas sampe meninggalnya dhek gibran ga trasa meweek.......
    seperti bercermin..... aku adlh monster tergalak bagi gilang.... seharian mnyesal tp besoknya terulang......

    kl mbk eni fktor ekonomi... kl aku kyaknya kesepian..... suami persis yg mbk eni gambarkn d mas budi suami mbk eni, pendiem bgt.....
    dia bersdia nganter ku kmana aja tp aku brasa pergi sendiri, misal ngemall ga pernah dia memikihkn suseatu yg cocok buatku, bahkn sekedar saran aja jarang bgt.....

    teman2 sekolah juga sdah pd sibuk sndiri, jgnkn hangout sekedar bertlfon sja sdah ga pernah.....

    sedngkan aku buth pendengar, penasehat, n sebalikny.....


    akuu ingin bahagia byar ga jd monster lagi.....

    ReplyDelete
  4. Kadang iya klau kita terlalu terbawa perasaan pdhl kalau semua itu sdh dari hati terus yakin Sama KetentuanNya insyaAllah akan di mudahkan,,,, great mba Eni bs melaluinya,,, mdh2an kita semua bisa,mnjd ortu yg bijak bagi amanah yg telah di titipkn,,, sekolah untuk ortu itu tdk ada kata libur setiap Hari, setiap moment tumbuh kembang anak Ada pelajaran yg psti kita bs ambil��

    ReplyDelete
  5. Membaca tulisan ini saya serasa berkaca. Dulu saya sempat menulis hal serupa dengan tema Baby Blues dan Post Partum Depression. Dulu sewaktu masih jadi 'gadis muda' aku mengira aneh sekali Ibu-ibu bisa sebegitu monsternya dengan anak sendiri. Bingung melihat Ibu yang kok bisa-bisanya membunuh anaknya sendiri. Lama kelamaan.. Yes, I feel it.. Memang Seorang Ibu berhak untuk merasa bahagia, berhak memiliki me time yang memadai dan dibantu dengan perhatian suami. Nice sharing bun.. Salam kenal dari saya.. :)

    ReplyDelete
  6. Kehilangan yang membuat patah dan memperlihat begitu besar cinta pasanganmu En, hadirnya tunas baru disaat kehilangan membuatmu begitu sempurna.

    Tidak hanya itu kau memiliki sesuatu yang wajib di miliki seorang wanita yaitu sahabat.

    Ah ..

    Tidakkah hidupmu begitu sempurna.

    Doaku menyertaimu En, aku bersyukur bisa mengenal kau wanita yang luar biasa.

    anw aku kok jadi melo.. hihi

    ReplyDelete
  7. emang yang kita saking banyak yg dipikirin, kadang kita suka marah2 gak puguh tp kl inget nyesel banget

    ReplyDelete
  8. Ya Allah..meleleh bacanya :'(

    Makasih sudah share, jadi kalau pengen dirayu ya tinggal bilang aja ya.

    ReplyDelete
  9. Dear mb eni, i feel you saat ini sy juga baru melahirkan anak kedua dan kakaknya sedang masa2 sering tantrum (usia 4 th) pernah beberapa waktu lalu monster itu keluar karena sudah tidak tertahankan sektika itu juga sy langsung peluk erat si kakak dan minta maaf huhu sedih rasanya bisa seperi itu ke anak sendiri. Sekarang setiap kakak tantrum berusaha sebaliknya berbicara serendah dan selembut mungkin juga kasih pelukan walau badannya meronta ronta. Tapi cara ini lebih berhasil dibanding ketika saya juga berteriak dgn nada tinggi.
    Setuju banget kalau dukungan suami itu puenting banget mba jadi kita merasa tidak sendirian. Mungkin saya juga akan mencoba seperti mb eni bicara hati ke hati dengan suami agar sama2 bahagia.
    Makasih ya mb sudah menginspirasi :)

    ReplyDelete
  10. Sebagai suami yang memiliki istri yang berkerja, saya sering lihat istri mukanya masyem kalo sampe rumah. Kalo sudah begitu, anak mending ajak main sama saya dan jauhkan dari ibunya. Setelah suasana lebih nyaman, baru ajak ibu bermain dengan anak. suami, istri dan anak menjadi happy.

    ReplyDelete
  11. Sampe gak tau mau komen apa. Perjuangan banget ya jadi seorang ibu. Bahkan untuk anak-anak yang kita cintaipun harus penuh perjuangan menjaga sikap agar mereka nggak terluka hatinya karena kita yang sering kali berubah jadi monster.

    Thanks for sharing mak eni, you're my inspiration :)

    ReplyDelete
  12. Woyyy mbak eni.. aku sering lhooo main ke rumahmu. Tapi sering juga ga ketemu tengok mbk eni pagi2 juga pernah. Sehat n bahagia selalu ya mbk. Salam sayang buat anak2

    ReplyDelete
  13. Lagi ngalamin monster bermata banyak, bertanduk banyak, gigi gerigi yang siap mencaplok kewarasan saya...

    Makasih ya mba udah terbuka. Ada kelegaan yang lumayan di hati saya *halah

    Moga2 saya bisa menang.

    ReplyDelete
  14. Memasuki rumah tangga bukan hanya menata hati antara istri dan suami. Ketika hadir buah hati banyak hal yang akan berubah. Di mana seorang ibu yang tadinya hanya fokus merawat suami, ditambah lagi merawat buah hati bukan hanya satu, dua saja jika Allah mengamanahi titipan. Kelelahan, kejenuhan, suami yang jauh dari panutan, kesulitan ekonomi, hingga seorang ibu yang tak mengenali dirinya sendiri, akhirnya merasa tak bahagia. Ada yang bilang cara merusak negara cukup dengan rusak ibunya. Rumah akan penuh teriakan, anak-anak sehari-hari makan omelan, suami ditodong penuh tuntutan. Sehingga ibu yang seharusnya sumber cinta itu mengalir menjadi monster yang menakutkan bagi seisi rumah. Maka dari itu penting bagi ibu untuk mencharger diri jangan di full kan semua energy dan selalu dituntut multitasking. Suami, keluarga janganlah berdiam diri. Jangan tunggu istri atau ibu anak-anakmu berubah wujud baru menyesal.
    Kebahagiaan itu sederhana, bangun ketenangan hati, beri pelukan hangat antar suamu istri.

    ReplyDelete
  15. Mba Eni, aku kadang juga alami hal begitu. Badan rasanya remuk rendam karena kerjaan, pulang rumah masih harus melakukan banyak hal yang seolah tak berkesudahan. Berkumpul bersama sahabat mungkin terbaik ya mba. Seperti yang kita lakukan. Kok nama aku nggak ada mbaaaa *baper*. Hhahahhaaa

    ReplyDelete
  16. Heu.. masih sering jadi monster. Mana anak aku juga maunya ikut terus ke tempat ngajar, jadi seharian penuh sama aku. Kalau lagi banyak kerjaan dan dia (4tahun) rewel, keluar deh moneternya. Bahkan pernah digambar sama dia muka saya dengan mulut terbuka dan giginya banyak �� katanya gambar ibu marah. Setuju banget gabung di komunitas blogger atau nulis blog itu bikin tetap waras. Sesekali ibu memang perlu istirahat sejenak dari rengekan anak.

    ReplyDelete
  17. Setiap perempuan yang sudah berkeluarga pasti pernah mengalami titik terendah dalam hidupnya. Tapi selama ini aku selalu menganggap Allah lah tempat mengadu. Dan bersyukur memiliki suami yang mau membantu pekerjaan rumah ketika sempat. Mau megang anak-anak, dan ini menurut saya penting banget. Ayah bisa memiliki hubungan yang baik sejak anak masih bayi. Trus istri juga mmeiliki waktu bagi dirinya sendiri saat anak diasuh ayahnya. Aku alhamdulillah belum pernah mengalami momen monster. Kalo situasi sedang nggak mendukung, aku lebih memilih wudlu. Ampuh banget meredam emosi yang memuncak. Dan alhamdulillah saya dan suami dikaruniai anak-anak yang menurut sejak kecil.

    ReplyDelete
  18. Waa apa yang mbak eni rasain kurang lebih sama dengan apa yang aku rasain juha waktu awal nikah dan punya anak.

    Merasa "post power syndrom" karena dulu aku aktif di kampus dan organisasi. Karena aku nikah sambil kuliah, otomatis semua kegiatanku itu off ketika nikah dan punya anak, dan waktu itu sempet tinggal di rumah mertua karena harua nitipin anak pas kuliah.

    Untungnya suami lumayan care dan bisa menjadi penyambung lidah kalau antara aku dan mertua ada percikan2 konflik, ya biasa lah sesama wanita kan pasti kadang suka mood swing barengan.

    Dan itu yang suka bikin aku tertekan dan jadi monster, mwahaha. Anak jadi korban. Korban cubitan, teriakan, dan tindakan kasar lain,soalnya waktu itu bingung ga punya temen cerita selain suami dan belum bisa kemana-mana.

    Tapi satu sih, sebagai perempuan kita ga boleh pasrah, kita juga harus usaha/mencari "penyembuhan" atas masalah kita.

    Kalau aku alhamdulillah sekarang udah bisa ngeblog dan ketemu komunitas baru, dan akhirnya ketemu mamaaah Eniii junjungan kita semuaaaa.

    ������

    ReplyDelete
  19. Setiap ibu berpotensi menjadi monster jika tak lagi mampu mengendalikan emosi dan menemukan penyebab kemarahan ya mbak. Seringkali kalau sudah menikah pikiran emak-emak itu sekedar dituntut : menu makanan tersedia, rumah rapi jali dan bersih, kebutuhan anak-anak dan suami tersedia. Wis pokoke muter dapur kasur sumur. Padahal sebagai emak perlu juga romantis-romantisan sama si bapak, sebagai wanita perlu juga eksistensi, sebagai ibu perlu untuk terus menuntut ilmu (meski ngga harus di bangku formal). Baca ulasan ini jadi pengen ngaca, ngelihat "calon" monster dan perlu menjinakkannya agar tak menjadi monster mengerikan dan memakan korban. tfs mbak ....

    ReplyDelete
  20. Saya pernah merasa jadi monster. Tiap hari rasanya ngomel melulu. Abis itu nyesel sendiri. Feeling guilty banget. Tapi trus diulangi lagi. Begitu terus, muter-muter. Saya setuju dengan solusinya. MEmang harus bikin diri sendiri bahagia. :)

    ReplyDelete
  21. Wanita berpotensi jadi 'monster' yah, hiks, rasanya memang berat mengatasi depresi sendirian. Wanita selalu butuh teman dekat (wanita) selain suami, butuh tempat ngobrol nyaman supaya beban bisa sedikit lepas.
    Selain itu, jika ada masalah dilembutkan dulu dgn berdoa, banyak istighfar, tahlil, tahmid, apapun sebagai terapi diri. Berkali2, supaya terasa efeknya. Alhamdulillah, meski awalnya berat, namun bisa menenangkan. Thanks sharingnya mbak ��

    ReplyDelete