Menjadikan Kegagalan tahun 2015 sebagai resolusi 2016

by - December 30, 2015



Novel

Tidak terasa, bahkan saya nyaris lupa kalau hari Jumad besok... tahun sudah berganti, dari 2015 menjadi 2016. Mengapa lupa?

Sekarang berbeda dengan tahun-tahun lalu, saya begitu fokus dengan 3 anak saya, terutama yang batita, Pendar (13m) dan membantu suami mengurus OS buku. Kalau tahun-tahun lalu, begitu menuju akhir Desember saya lah yang sibuk menghubungi kakak-adik-ipar buat kumpul dan mengadakan acara keluarga menyambut tahun baru. Entah, bakar ikan-ayam atau kumpul main kembang api bersama keponakan-keponakan di rumah oragtua, maka tahun ini, anak-anak saya lah yang mengingatkan:

Ibu, kan kita mau tahun baru
Hah, kapan?
Malam Jumad besok, Ibuuu...


Ya, ya...tahun sebentar lagi akan berganti. Saya melihat berbagai status teman-teman di sosmed yang haru biru akan keberhasilan tahun 2015, akan pengharapan di tahun 2016 lebih sukses lagi. Meski  ucapan selamat mengalir dari hati saya dengan tulus, bahkan ikut bersorak. Tapi, ada juga rasa sedih karena tahun yang akan segera pergi seperti mengingatkan:

Lihat lah, sebentar lagi 2015 tenggelam. Mana resolusimu dulu. Yang kau ucapkan saat di penghujung malam menuju 2015?

Resolusi apa?
Bahwa tahun 2015 saya akan lebih konsisten menulis, setidaknya beberapa karya saya akan diterbitkan penerbit mayor. Karena tahun 2014, saya banyak rest hamil anak ke-4, kehamilan kali ini terlalu fokus setelah saya kehilangan anak no 3, saat alm berusia 5 bulan. Kondisinya yang tidak sehat dari lahir, membuat saya berjanji kelak akan hamil dengan sehat. Akan melakukan apa saja untuk kesehatan calon bayi saya, sehingga kegiatan menulis yang memakan waktu berjam-jam di depan monitor, atau tidur larut...saya hindari sama sekali. tahun 2014, novel saya hanya terbit 1, itu pun saya tulis sebelum hamil: Learning To Love.

Novel

Tapi apa yang terjadi, memasuki tahun 2015, bayi saya, Pendar, baru berusia jalan 2 bulan. Melihat kemolekannya, kelucuannya, dan kerinduan akan alm, membuat saya asyik dengan bayi saya. Satu naskah yang saya ajukan, ketika diminta editor untuk direvisi, tidak saya kerjakan. Menyusui full, mengurus dua kakaknya, membuat saya tidak ada tenaga lagi untuk merevisi. Apa faktor usia ya, karena dulu hamil, pasca melahirkan, menyusui, menulis tidak ada masalah...hahaha.

Apalagi ketika Pendar memasuki tahap MPasi, dimana saya membuat MPasi homemade dengan metode WHO, saya justru sibuk ngulik resepnya, membaca semua artikel tentang MPasi WHO (buat yang penasaran dengan MPasi WHO, intip di SINI). Pokoknya, serasa baru memiliki anak, saya jadi jumpalitan. Naskah revisi...say goodbye.

Tapi kemudian saya sadar, mulai menulis lagi. Pelan-pelan, menulis baru karena naskah revisinya harus dirubah banyak hal. Buat saya merevisi naskah jadi, lebih sulit dari pada menulis sebuah naskah baru. Bagaimana tidak? Semua ide yang sudah bulat, utuh, dipangkas sana-sini. Dari pada gigit laptop, mending saya mundur dulu deh. Nyari ide baru, tulis pelan-pelan. Niat di hati: KONSISTEN SEHARI SATU HALAMAN.

Coba bayangkan...4-5 bulan akan jadi satu naskah, bisa jadi hanya 3 bulan kelar. Kerjakan saat Pendar tidur, dan kedua kakaknya sekolah karena kalau malam kawatir tidak kuat. Maklum, Pendar kuat benar ASI'nya meski sudah MPasi. Yessss, dengan semangat 45, saya mulai menulis. Tak apa lah kalau tahun 2015 satu atau dua novel saya terbit, yang penting tetap berkarya.

Tapi oh tapi... saat Pendar rewel, suatu ketika jatuh sakit, saya kecapean dan jatuh sakit juga. Buyarlah semua tulisan saya, sebab saya kalau menulis harus fokus dan kontinyu meski sehari 1 halaman. Kalau ditinggalkan cukup lama, akan ada 'rasa asing', sementara menulis itu harus feel, klik, harus ada intens. Jeda berapa waktu, terlebih disertai kondisi seperti tegang dsb, feel itu lumeeeer.

Kalau dulu menghadapi kondisi ini saya akan mencari jalan keluar dengan 'me time' jalan ke toko buku, ngobrol dengan teman sesama penulis, jalan-jalan sekeluarga, baca buku yang saya sukai. Sementara sekarang, menghadapi anak sakit saya bisa jadi begitu histeris karena pengalaman menghadapi sakitnya alm anak saya, tahun 2012. Kondisi psikis saya berbeda dengan yang dulu ketika menghadapi Pendar sakit.
Kids


KEB

Maka, ketika kesadaran tahun sudah akan berganti, saya lihat tulisan saya baru pada hal 60. Sadarlah saya, tahun 2015...resolusi saya gagal. Tapi di satu sisi, saya bahagia bisa mengasuh anak-anak saya, bisa memiliki ilmu tentang Mpasi, parenting, yang belum saya ketahui sebelumnya. Bisa mulai fokus ngeblog, dan sesekali ikut kegiatan blogger. Ngeblog ini cukup melipur hati saya, obat rindu menulis. Alhamdullilah, masih tetap bisa berbagi dengan pembaca melalui blog.

Dan, kegagalan resolusi 2015 akan saya jadikan pelajaran di tahun 2016, untuk bisa memanage waktu, menghadapi kondisi anak-anak, serta menembus kegagalan menerbitkan karya saya lagi. Setidaknya saya yakin itu bisa, melihat Pendar sudah lebih besar, kakak-kakaknya sudah lebih bisa bantu mengawasi adiknya.

Pokoknya, tahun 2016 harus ada karya saya yang berjajar indah di toko buku bersama karya-karya teman-teman sesama penulis lainnya, aamiin










You May Also Like

0 komentar