Suka Cookware Dari Teplon
Sejak saya remaja memang tidak suka masak, bau aneka bumbu dan minyak bekas itu bikin mual. Tapi ketika menikah otomatis masak itu harus suka lah, bukan masalah gak hobby lagi. Tetapi, masalah urusan suami dan anak-anak yang harus dikasih asupan. Masa beli terus, gak sehat dong. Apalagi saya pernah baca ada rumor yang mengatakan: Kesehatan keluarga berawal dari dapur ibu.
Masakan rumahan, the silent killer. Huwaaaa...serem-serem. Makanya begitu nikah saya belajar masak, mengolah bahan-bahan yang sehat untuk diasup keluarga, seperti memilih sayuran yang segar, mencuci sayuran dan teman-temannya dengan bersih, menghindari penyedap dan pengawet yang berbahaya.
Tentu saja selain memilih bahan yang akan diolah, wajib hukumnya memakai peralatan mengolah atau cookware yang aman, gak mengandung bahan-bahan berbahaya, pokoknya berkwalitas lah. Untuk itu saya dari awal nikah memakai perabotan dapur berbahan teplon, namun karena harganya lumayan berat di kantong, peralatan dapur saya gak banyak. Bisa deh dihitung pakai jari.
Peralatan masak di dapur itu hanya ada satu dandang untuk mengukus, satu panci besar untuk memasak serba kuah, satu wajan besar serba guna, dan satu frypan size kecil. Sudah itu saja hehehe. Ini pun sudah gonta-ganti karena teplon itu mudah tergores, lalu cidera dan gak dipakai lagi. Ada juga yang kupingnya atau pegangannya copot karena terkena paparan api, lecet-lecet, lalu murnya kendur dan copot deh.
Suami pernah komen, "Itu frypan baru beli, kok sudah dionggokan di bawah wastafel?"
"Iya, sudah terkelupas gara-gara kemarin masak gosong."
"Kayaknya sering kamu pakai teplon rusak? Sudah pakai kayak di rumah Ibu saja, panci almunium juga aman-aman aja. Harga lebih terjangkau."
Benar juga sih, kata suami. Tetapi gimana dong, saya sudah terlanjur fanatik sama teplon. Mungkin awalnya karena saya suka melihat tampilannya elegan, cantik, pokoknya beda deh sama peralatan yang dimiliki ibu saya atau pun ibu mertua, hehehe. Jadi saya tetap keukeuh maunya pakai teplon.