Sumber foto: Unsplash |
Judul artikel ini saya yakin sekali banyak dipertanyakan para wanita yang tetiba menyadari dirinya hamil, loh? Kan sudah menikah, punya suami, kok gak siap hamil? Hamil ada suaminya ini, kenapa gak siap?
Mungkin bagi yang belum mengalami akan berpikir demikian, tetapi bagi banyak wanita yang menikah hal ini banyak terjadi, mengapa? Mengapa sudah tahu belum siap, kok hamil? Mengapa memutuskan hamil disaat tidak siap? Mengapa dan mengapa?
Baiklah, dalam artikel sederhana ini saya ingin berbagi
sedikit pengalaman yang banyak dialami wanita menikah, dan pernah saya alami
nyaris 7 tahun lalu.
Nah, bagaimana agar menjalani kehamilan itu dengan bahagia pada akhirnya.
Nah, bagaimana agar menjalani kehamilan itu dengan bahagia pada akhirnya.
Tahun 2012 : Hamil
disaat tidak tepat
Sumber foto: Unsplash |
Selama pernikahan saya memang tidak memakai kontrasepsi alat
atau yang menggunakan hormonal, karena saya tidak mau ada hormon asing yang
masuk ke dalam tubuh saya. Bukan takut gemuk, tetapi memang saya tidak pro.
Sementara untuk mengenakan alat seperti IUD masih maju-mundur cantik, Alhamdullilah saya dan suami bisa
mengatur jarak kehamilan. Dalam arti kami tidak pernah kesundulan.
Namun datangnya rejeki memiliki anak sudah pasti tidak bisa
kami tentukan kapannya, pokoknya jarak yang kami buat minimal 3 tahun. Dimana
si kecil sudah siap disapih, lulus toilet training, sudah bisa komunikasi
timbal balik, mulai mandiri dan siap menjadi seorang kakak kecil bagi adik
bayi.
Lahir Lintang, kemudian Pijar adalah saat yang tepat karena
jarak keduanya, sikon psikologis saya, dan lain sebagianya. Tetapi ketika lahir
anak ke tiga (alm), meski jaraknya tepat. Namun kondisi keuangan, kesehatan dan
psikologi saya tidak tepat. Saat tahu hamil, terus terang saya panik dan sedih,
kenapa harus hamil di saat seperti ini?
Suami pun tidak bisa memberi support yang membuat saya
tenang. Memang tahun 2012 usaha saya dan suami dalam kondisi parah, penerbitan
yang kami buat bangkrut. Keuangan bisa dikatakan kritis. Hati kecil saya
menolak kehamilan, saya menangis dan marah, saya menjalani dengan tidak bahagia
dan efeknya DASYAT.
Karena selain masalah psikologis, saya juga jadi tidak
memperhatikan asupan vitamin dan asupan makanan. Saya yang biasanya paling
disiplin jadi kacau untuk semua itu, di trisemester pertama khususnya. Masa-masa
terburuk yang pernah saya jalani sebagai ibu hamil adalah pada kehamilan ke
tiga ini.
Saya baru bisa menerima kehamilan setelah trisemester kedua,
padahal trisemester pertama itu masa kritis, masa penting bagi janin. Masa-masa
yang seharusnya berjalan dengan sangat baik sekali, karena ini terlewat dan
mungkin kodratullah, bayi saya lahir lebih cepat dari HPL dan terlahir
istimewa. Hingga hanya 5 bulan berada dalam pelukan saya, lalu Allah SWT
mengambilnya dengan sangat manis....saya
terhempas.
Merasa bersalah yang masih menghantam hingga kini. Andai saya
bisa lebih dewasa, bisa lebih ikhlas, bisa lebih pintar, bisa dan bisa
lainnya...