Suatu
hari seorang ibu yang usianya di atas saya dan merupakan tetangga beda blok
melintas depan rumah. Ibu itu berhenti ketika melihat suami saya tengah
menjemur pakaian, sementara saya sedang bermain dengan Binar. Lalu katanya
dengan ekspresi sinis, "Jangan mau, Pak. Masa suami yang jemur pakaian.
Istri santai-santai."
Lalu
matanya yang semula ke arah suami, berbalik mengarah ke saya seraya berkata
lagi, "Kamu itu masa membiarkan suami ngerjain pekerjaan perempuan. Nggak
Jawani!"
Perempuan dan stigma gender |
Tanggapan seperti ini bukan sekali dua kali, tetapi seringkali dan selalu tokohnya adalah perempuan itu sendiri. Mengapa, padahal Indonesia memiliki Ibu Kartini yang menyerukan emansipasi pada jamannya, tapi memang pengertian gender di Indonesia menjadi tolak ukur yang kukuh sejak jaman Nenek Moyang. Bahwa perempuan memiliki tugas di sumur, di dapur, dan di kasur. Orang Jawa menempatkan perempuan sebagai konco wiking atau posisi di belakang suami.
Seakan
gender itu menjadi pembatas antara laki-laki dan perempuan, padahal gender
bukanlah jenis kelamin laki-laki dan perempuan sebagai pemberian Tuhan. Tapi
gender merupakan perbedaan peranan dan fungsi yang dibuat oleh masyarakat kita, seperti Bahwa perempuan
memiliki tugas di sumur, di dapur, dan di kasur. Atau konco wiking, sementara laki-laki bekerja di luar. Tapi pada
prosesnya TIDAK LAGI DEMIKIAN.
Sesungguhnya
sejak jaman dahulu pun, tidak demikian menurut saya. Coba lihat, tokoh wanita
Indonesia Kartini, Cut Nyak Dhien, Dewi
Sartika, Nyi Ageng Serang, dan banyak lagi. Dimana wanita turun ke medan laga
dan juga ke ranah pendidikan. Sayangnya, pengertian gender yang absurd membuat
perempuan tetap berada dalam stigma berbeda dengan laki-laki dalam segala hal,
termasuk peran.