Ketika si Kecil akan
memasuki usia 2 tahun, pasti setiap ibu menyusui mulai menyusun langkah-langkah
untuk mulai menyapih si Kecil. Sistem penyapih ini beranekaragam, kalau jaman
dulu (mungkin masih juga ada yang mengikuti sistem menyapih ini hingga kini),
menyapih si Kecil dengan mendatangi tukang pijat bayi untuk meminta ramuan
pahitan yang akan dipopolkan (apply)
ke area puting.
Bukan saja si Kecil
jadi tidak mau menyusu, tapi menangis. Kalau dipaksa dimenyusu, popolan ramuan
tukang pijat itu rasanya sangat pahit. Seminggu proses popolan ini berlangsung
sampai si Kecil tidak mau menyusu lagi. Bicara soal popolan ini, selain ramuan
pahitan dari tukang pijat bayi, banyak ibu-ibu yang cerita memberikan popolan
macam-macam, mulai dari balsem, obat
merah, kunyit, sampai ditutup hansaplast putingnya, hahaha. Sumpah kreatif
banget, tapi sebenarnya menyapih dengan metode ini bagus tidak sih?
Menurut psikologi anak
maupun pakar parenting, tentu saja metode itu tidak dianjurkan karena tidak ada
pesan cinta dalam proses menyapih. Padahal menyusui itu dilalui dengan proses
yang tidak mudah, dari bayi terlahir ke dunia hingga bertumbuh menjadi batita
yang berkembang dengan kecerdasannya. Batita yang mulai paham untuk diajak
berkomunikasi, merasakan berbagai emosi. Alangkah baiknya jika proses menyapih ini
dilalui dengan penuh cinta. Ibu-ibu bilang menyapih dengan cinta.
Menyapih yang diawali
dengan memberikan pengertian, diberi jeda menyusu dari ritme biasanya, sehingga
si Kecil ketika benar-benar tidak diberi ASI memahami kalau memang sudah
waktunya tidak ASI lagi. Ibu bisa mengganti jam ASI dengan memberi susu sufor
lanjutan untuk usia 2 tahun ke atas, atau UHT, atau snack lain. Semua
tergantung keputusan masing-masing ibu.
Tapi sebenarnya
haruskah si Kecil disapih ketika memasuki usia dua tahun?