Sepotong
Cerita...
Belum lama ini seorang
teman berbagi cerita dengan saya, bagaimana dia mengalami depresi karena
tekanan ekonomi yang luarbiasa. Dia dan suaminya sama-sama mengalami pemutusan
pekerjaan, seketika pemasukan setiap bulan yang rutin berhenti. Untuk kebutuhan
sehari-hari terpaksa mengambil tabungan, kebutuhan mendadak mengambil tabungan, namun karena tabungan
tidak seberapa dalam kurun waktu tidak lama habis.
Berawal dari kebutuhan
yang tidak terpenuhi, tekanan untuk memenuhi kebutuhan ini-itu, salah satunya
makan sehari-hari, sekolah anak, uang membayar rumah, dan sebagainya. Sementara
pekerjaan belum kunjung datang, depresi pun melanda. Puncaknya tidak sekedar stres
biasa, namun hingga menyakiti anak-anak yang dianggap sebuah beban dalam
masalahnya.
Itu cerita pertama,
cerita ke dua adalah seorang wanita cerdas, cantik, namun berdiri di hadapan
saya dengan wajah kuyu, seakan dalam dirinya kosong. Hampir sama dengan kisah
pertama, tekanan ekonomi. Cerita ke dua ini karena suami sejak awal menikah
tidak memiliki rumah, tidak memiliki pekerjaan tetap.
Namun dalam perjalanan
pernikahan mereka, sempat sukses sebagai UKM, mereka menikmati gaya hidup yang
disebut menengah. dan mengalami
kebangkrutan usaha sehingga susah berdiri lagi. Jika cerita pertama menyakiti
anak-anak, cerita ke dua sudah melupakan anak-anaknya. Dia hanya merakan
kekosongan sendiri, putus asa dengan setumpuk permasalahannya.