Ketika Rasa Iri Menjadi
Bagian Isi Kepala
Sejujurnya
manusiawi banget ketika kita memiliki rasa iri dan ingin seperti oranglain yang
(terlihat) lebih dari diri kita. Baik dari sisi penampilan, gaya hidup,
kehidupan, yang semuanya intinya terlihat makmur secara financial. Ketika
oranglain rasanya begitu sempurna untuk menjalani hidupnya ketimbang kita.
Jangan dusta, hampir semua orang pernah melewati proses merasa iri yang seperti
ini, termasuk saya.
Stalking
instagram melihat gaya fashion seseorang
yang setiap hari berbeda, melihat sepasangan suami istri yang mesra saling
berpegangan tangan, melihat satu keluarga dengan anak-anak yang lucu dan sehat,
melihat seseorang yang selalu foto di lokasi negara berbeda-beda atau destinasi
wisata yang beda-beda, kadang timbul berbagai pikiran di kepala: Mereka pasti
tercukupi secara financial atau mereka pasti memiliki pasangan dengan gaji yang
digitnya ngeri, hahaha.
Asli,
ini manusiawi banget sebenarnya karena manusia memang memiliki perasaan dan
keinginan atau impian di kepalanya. Sejujurnya, kalau saya merasa iri dengan
keluarga yang secara financial bisa berjalan dengan baik, ini pasti kedua
pasangan atau salah satu memiliki penghasilan yang cukup. Sehingga apa yang
diinginkan sangat mudah terwujud seperti rumah yang layak, kendaraan pribadi,
wisata keluarga, dan ke Baitullah.
Saya
sering terdiam menatap keluarga seperti yang saya paparkan di atas. Rasanya
hidup dapat bernafas dengan nyaman, hehehe. Ini mimpi ke Baitullah saja
sepertinya masih dalam impian di kepala, termasuk punya kendaraan pribadi.
Padahal dengan anak empat, wajib hukumnya punya. Karena sudah menjadi
kebutuhan, bukan keinginan kendaraan pribadi tuh, hiks. Tapi selalu belum
terwujud setiap akan membelinya, selalu tabunngan melayang di tengah jalan. Apakah ada yang salah dengan
financial saya dan suami?
Kami
bekerja berdua secara mandiri dalam arti tidak terikat sebuah perusahaan, untuk
keuangan karena usaha sendiri, kadang melonjak hingga berlebihan, kadang
menurun hingga harus pontang-panting. Karena kerja mandiri berarti segala
resiko dan beban menjadi tanggungjawab kami berdua.
Efeknya
selain capek dan menjadi beban pikiran, kerja terus tapi kebutuhan tidak terwujud
dengan tepat membuat kami (tepatnya saya) mudah terkena stres, huhuhu. Meski
stres ringan dalam arti kadang mudah marah, kadang mudah sedih, lalu tubuh
dengan mudah terkena masuk angin, hahaha. Serius, saya kalau tertekan pikiran
pada akhirrnya tubuh drop dengan kondisi masuk angin cukup parah dan butuh
istirahat. Dimana seluruh badan terasa sakit, mual, dan tidak bisa berpikir
dengan baik, kerjaan pun jadi terbengkalai sampai job ikut melayang.